Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia disebut perlu mengantisipasi potensi kebijakan tarif impor tinggi yang dapat diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap negara-negara yang menjadi penyumbang defisit perdagangan AS.
Pada 2024, nilai keuntungan dagang Indonesia dari AS mencapai US$19,3 miliar atau meningkat dari tahun sebelumnya sebesar US$14,01 miliar. RI menduduki posisi ke-15 negara penyumbang defisit AS.
Peneliti Ekonomi dari Institute of Development of Economic and Finance (Indef) Ariyo DP Irhamna mengatakan, meski masih kalah jauh dibandingkan negara-negara Asean lain seperti Vietnam, industri lokal tetap harus bersiap.
“Data menunjukkan tarif rata-rata AS untuk impor dari Indonesia adalah 0,1%, lebih rendah daripada Vietnam sebesar 0,12% dan Meksiko 0,64%,” ujar Ariyo kepada Bisnis, Rabu (19/3/2025).
Namun, Ariyo tak memungkiri, ancaman kebijakan tarif AS juga dapat berpotensi menyasar ke sejumlah industri seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), produk pertanian dan perkebunan, serta elektronik dan komponennya.
Pada produk TPT, Indonesia mengekspor tekstil senilai US$4,5 miliar ke AS tahun lalu sehingga rentan jika tarif meningkat. Terlebih, dia melihat AS kerap memberlakukan tarif antidumping untuk produk tekstil.
Baca Juga
“Minyak sawit Indonesia juga kerap menghadapi hambatan lingkungan, misalnya deforestasi EUDR yang bisa diadopsi AS. Tarif atau sertifikasi ketat akan mengancam ekspor CPO dan turunannya,” jelasnya.
Di sisi lain, produk elektronik dan komponen juga dapat dikenakan tarif tinggi ekspor ke AS, jika negara tersebut memperluas tarif untuk produk teknologi. Menurut Ariyo, industri elektronik RI yang sedang berkembang bisa terdampak.
Adapun, nilai ekspor produk elektronik (HS 85) sebesar US$4,18 miliar pada 2024 atau meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai US$3,45 miliar.
Dalam hal ini, Ariyo menilai pemerintah dan pelaku usaha harus segera mempersiapkan sejumlah langkah. Pemerintah setidaknya dapat mendukung dari sisi percepatan ratifikasi free trade agreement (FTA).
“Perluas kerja sama dengan AS melalui Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) untuk mengurangi risiko tarif,” tuturnya.
Kemudian, mendorong diversifikasi pasar sehingga Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada AS dengan memperkuat ekspor ke Uni Eropa, Timur Tengah, dan Afrika melalui diplomasi ekonomi.
Sementara itu, bagi pelaku usaha diperlukan peningkatan kualitas dan standar dengan adopsi sertifikasi internasional seperti ISO dan ESG untuk memenuhi persyaratan non-tarif AS.
“Lalu, kembangkan produk manufaktur bernilai tambah seperti produk turunan sawit, tekstil fungsional, untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas mentah,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ariyo juga menyebut, pentingnya kolaborasi rantai pasok dengan membangun kemitraan dengan perusahaan global untuk integrasi dalam rantai pasok AS sebagai pemasok komponen otomotif/elektronik.