Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penaikan Royalti Minerba Tetap Lanjut Kala Industri Dibayangi Tutup Tambang-PHK

Pemerintah kukuh rencana penaikan tarif royalti mineral dan batu bara tidak akan memberatkan industri pertambangan.
Mochammad Ryan Hidayatullah, Afiffah Rahmah Nurdifa
Rabu, 19 Maret 2025 | 07:36
Suasana penggalian tambang nikel milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Suasana penggalian tambang nikel milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Rencana penaikan tarif royalti mineral dan batu bara dipastikan segera diimplementasikan meski menuai keberatan dari pelaku usaha tambang. Pemerintah menegaskan kebijakan ini tak akan memberatkan industri.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan bahwa draf aturan tarif baru royalti batu bara, nikel, tembaga, emas, perak, dan logam timah hampir rampung dan telah berada di Kementerian Sekretariat Negara.

Tarif baru itu akan dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) yang merupakan revisi dari PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta PP No. 15 Tahun 2022 tentang Perlakukan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno memastikan bahwa kebijakan penaikan royalti tersebut tak akan sampai mematikan industri tambang.

Dia mengatakan, pemerintah telah melakukan kajian dan mengukur kemampuan keuangan perusahaan-perusahaan tambang sebelum memutuskan menaikkan royalti minerba.

"Pemerintah sebelum melakukan penaikan, pasti melakukan evaluasi laporan keuangan perusahaan yang mana bisa optimal antara penerimaan [untuk] pemerintah dengan perusahaan," jelas Tri, Selasa (18/3/2025).

Tri mengaku setidaknya pemerintah mempelajari laporan keuangan minimal 10 perusahaan dari setiap subsektor minerba. Dari hasil kajian mendalam terhadap laporan keuangan perusahaan, pemerintah yakin para pengusaha tak akan rugi jika tarif royalti minerba naik.

Untuk itu, dia menilai protes yang diajukan pengusaha atas rencana kenaikan royalti tidak komprehensif.

"Kami masih menerima beberapa masukan, tapi masukannya itu enggak komprehensif. Artinya, 'kami akan rugi'. Lho, angka ruginya sebelah mana?" tutur Tri.

Tarif Royalti Minerba

Komoditas

Semula

(PP 26 Tahun 2022)

Usulan Revisi
Batu bara  Progresif, menyesuaikan HBA tarif PNBP IUPK 14-28%

- Tarif royalti naik 1% untuk HBA ≥ US$90 sampai tarif maksimum 13,5%

- Tarif IUPK 14-28% dengan perubahan rentang tarif (Revisi PP 15/2022)

Bijih nikel   Single tariff bijih nikel 10%  Tarif progresif 14%-19% menyesuaikan harga mineral acuan (HMA)
Nikel matte

- Single tariff 2%

- Windfall profit tambah 1%

- Tarif progresif 4,5%-6,5% menyesuaikan HMA. 

- Windfall profit dihapus.

Ferronikel

Single tariff 2%

 Tarif progresif 5%-7% menyesuaikan HMA

Nikel pig iron

Single tariff 5% 

 Tarif progresif 5%-7% menyesuaikan HMA

Bijih tembaga

Single tariff 5%

 Tarif progresif 10%-17% menyesuaikan HMA

Konsentrat tembaga

Single tariff 4%

 Tarif progresif 7%-10% menyesuaikan HMA

Katoda tembaga

Single tariff 2%

 Tarif progresif 4%-7% menyesuaikan HMA

Emas

Tarif progresif 3,75%-10% menyesuaikan HMA

 Tarif progresif 7%-16% menyesuaikan HMA

Perak

Single tariff 3,25%

 Single tariff 5%

Platina

Single tariff2%

 Single tariff 3,75%.

Logam timah

Single tariff 3%

Tarif progresif 3%-10% menyesuaikan harga jual

Tutup Tambang & PHK Membayangi

Sementara itu, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyebut tak sedikit penambang yang bakal semakin tertekan profitnya imbas rencana kenaikan tarif royalti minerba di tengah tingginya biaya produksi.

Dalam revisi yang diusulkan pemerintah, besaran kenaikan tarif royalti bijih nikel naik dari sebelumnya single tariff 10% menjadi tarif progresif mulai 14%-19%. 

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, kenaikan tarif royalti dengan besaran tersebut dapat menekan margin produksi dengan cukup signifikan, bahkan di bawah biaya produksi. Hal ini membuat pemegang izin usaha pertambangan (IUP) memilih berhenti beroperasi. 

"Kalau penerapan royalti 14%, ada beberapa IUP yang 'sudahlah tutup saja, daripada produksi, rugi," kata Meidy dalam konferensi pers 'Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan', Senin (17/3/2025). 

Dia menerangkan, mengacu pada harga mineral acuan (HMA) periode kedua bulan Maret 2025, harga patokan mineral (HPM) untuk bijih nikel berkadar 1,7% Ni dan moisture 35% adalah US$30,9 per wet metric tons (wmt). 

Dengan demikian, apabila tarif royalti tambang bijih nikel naik ke level 14%, maka royalti yang akan dikenakan sebesar US$4,3 per wmt. Artinya, margin yang tersisa hanya US$26,6 per wmt. 

"Margin tersebut bahkan lebih kecil daripada biaya produksi sejumlah penambang," imbuhnya. 

Pasalnya, penambang saat ini disebut telah banyak menanggung biaya operasi tambang yang makin meningkat signifikan, sementara harga nikel terus menurun sehingga margin perusahaan makin tergerus. 

Tingginya beban yang ditanggung penambang, di antaranya disebabkan oleh kenaikan biaya biosolar B40 yang signifikan, kenaikan upah minimum regional (UMR) minimal 6,5%, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% yang membuat harga alat berat makin mahal, serta pengenaan kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) sebesar 100% selama 12 bulan.

Selain itu, adanya penerapan global minimum tax 15%, iuran tetap tahunan, pajak bumi bangunan (PBB) on-shore dan tubuh bumi. Di sisi lain, penambang juga memiliki kewajiban reklamasi pascatambang, iuran PNBP PPKH, kewajiban rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), program pemberdayaan masyarakat (PPM), dan investasi besar untuk membangun smelter. 

Untuk itu, APNI meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali revisi penyesuaian tarif tersebut. Wacana kenaikan tarif royalti minerba juga diyakini dapat menggerus potensi penerimaan negara. 

Senada, Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Alexander Barus mengatakan, pihaknya menolak rencana pemerintah untuk kenaikan royalti minerba.

Menurutnya, kenaikan royalti bisa berdampak pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tambang dan pengolahan nikel.

Alexander juga menyinggung kebijakan global minimum tax yang menghapus insentif tax holiday bagi industri pionir seperti nikel. Menurutnya, hal ini akan memperketat arus kas perusahaan dan berisiko terhadap keberlanjutan sektor tersebut.

Dari sisi penerimaan negara, FINI menilai kenaikan royalti belum diperlukan. Pasalnya, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor minerba selalu melampaui target dalam 5 tahun terakhir.

"Tahun 2020 realisasi PNBP mencapai 110% dari target, 2021 sebesar 193%, 2022 mencapai 180%, 2023 sebesar 118%, dan 2024 sudah mencapai 125%. Jadi belum saatnya menaikkan tarif royalti. Seluruh perusahaan tambang serta pengelolaan dan/atau pemurnian nikel di Indonesia tengah menghadapi masa sulit selama 2 tahun terakhir akibat faktor-faktor tersebut. PHK pun sudah di ambang mata," tuturnya.

Untuk diketahui, penerimaan negara dari sektor minerba pada 2023 sebesar Rp172,96 triliun atau melebihi target Rp146,07 triliun. Sementara itu, pada 2024, realisasi penerimaan negara dari sektor ini mencapai Rp136,79 triliun atau lebih tinggi dari target Rp113,54 triliun. 

Hilirisasi Bisa Terhambat

Holding BUMN Pertambangan, PT Mineral Industri Indonesia atau MIND ID menyebut rencana kenaikan tarif royalti pertambangan mineral dan batu bara dapat berimbas pada operasional hingga upaya penghiliran perusahaan tambang. 

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper