Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyebut tak sedikit penambang yang bakal semakin tertekan profitnya imbas rencana kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara di tengah tingginya biaya produksi.
Dalam revisi yang diusulkan pemerintah, besaran kenaikan tarif royalti bijih nikel naik dari sebelumnya single tariff 10% menjadi tarif progresif mulai 14%-19%.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, kenaikan tarif royalti dengan besaran tersebut dapat menekan margin produksi dengan cukup signifikan, bahkan di bawah biaya produksi. Hal ini membuat pemegang izin usaha pertambangan (IUP) memilih berhenti beroperasi.
"Kalau penerapan royalti 14%, ada beberapa IUP yang 'sudahlah tutup saja, daripada produksi, rugi," kata Meidy dalam konferensi pers 'Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan', Senin (17/3/2025).
Dia menerangkan, mengacu pada harga mineral acuan (HMA) periode kedua bulan Maret 2025, harga patokan mineral (HPM) untuk bijih nikel berkadar 1,7% NI dan moisture 35% adalah US$30,9 per wet metric tons (wmt).
Dengan demikian, apabila tarif royalti tambang bijih nikel naik ke level 14%, maka royalti yang akan dikenakan sebesar US$4,3 per wmt. Artinya, margin yang tersisa hanya US$26,6 per wmt.
Baca Juga
"Margin tersebut bahkan lebih kecil daripada biaya produksi sejumlah penambang," imbuhnya.
Pasalnya, penambang saat ini disebut telah banyak menanggung biaya operasi tambang yang makin meningkat signifikan, sementara harga nikel terus menurun sehingga margin perusahaan makin tergerus.
Tingginya beban yang ditanggung penambang, di antaranya disebabkan oleh kenaikan biaya biosolar B40 yang signifikan, kenaikan upah minimum regional (UMR) minimal 6,5%, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% yang membuat harga alat berat makin mahal, serta pengenaan kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) sebesar 100% selama 12 bulan.
Selain itu, adanya penerapan global minimum tax 15%, iuran tetap tahunan, pajak bumi bangunan (PBB) on-shore dan tubuh bumi. Di sisi lain, penambang juga memiliki kewajiban reklamasi pascatambang, iuran PNBP PPKH, kewajiban rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), program pemberdayaan masyarakat (PPM), dan investasi besar untuk membangun smelter.
Untuk itu, APNI meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali revisi penyesuaian tarif tersebut. Wacana kenaikan tarif royalti minerba juga diyakini dapat menggerus potensi penerimaan negara.
Untuk diketahui, realisasi royalti nikel pada 2024 mengalami penyusutan menjadi Rp11,63 triliun dari tahun sebelumnya Rp13,69 triliun. Pada 2023, realisasi royalti nikel naik lantaran harga komoditas yang melonjak naik.