Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) disebut berencana melakukan penyesuaian tarif royalti komoditas mineral dan batu bara (minerba).
Investment Analyst Stockbit Hendriko Gani dalam risetnya menyebut bahwa Kementerian ESDM telah melakukan konsultasi publik terkait amendemen royalti minerba tersebut dengan para pemangku kepentingan. Adapun, konsultasi publik itu dilakukan pada Sabtu (8/3/2025).
"Dalam rancangan tersebut, pemerintah akan menaikkan tarif royalti bagi sejumlah komoditas mineral, seperti nikel, tembaga, hingga emas," kata Hendriko, Senin (10/3/2025).
Sementara itu, untuk komoditas batu bara, pemerintah berencana menyesuaikan tarif royalti dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebagai berikut:
- Kontrak izin usaha pertambangan (IUP): Tarif naik +1 percentage point untuk batu bara dengan kalori ≤4.200 dan >4.200–5.200 ketika harga batu bara acuan (HBA) ≥US$90/ton.
- Kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B): Tarif naik +1 percentage point untuk batu bara dengan kalori ≤4.200 dan >4.200–5.200 ketika HBA ≥US$90/ton. Sementara itu, penerimaan hasil tambang (PHT) untuk kalori dan HBA yang sama turun -1 percentage point.
- Kontrak izin usaha pertambangan khusus/IUPK (perpanjangan dari PKP2B): Rentang tarif diubah. Pemerintah juga berencana menyesuaikan tarif pajak penghasilan badan (PPh) bagi perusahaan dengan kontrak IUPK dari 22% menjadi sesuai dengan peraturan di bidang pajak penghasilan.
Hendriko menuturkan, berdasarkan rencana penyesuaian di atas, komoditas yang akan mengalami kenaikan royalti paling tinggi adalah bijih tembaga dan feronikel.
"Dengan harga tembaga sebesar US$9.362 per ton pada Maret 2025, royalti bijih tembaga berpotensi naik 3 kali lipat dari 5% menjadi 15%, sementara royalti feronikel naik +150% dari 2% menjadi 5%," jelasnya.
Sebelumnya, isu kenaikan royalti nikel dari 10% menjadi 15% sempat dikeluhkan oleh pengusaha penambang nikel. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menilai kebijakan ini akan mengurangi keuntungan dari penambang.
"Kemarin kami dapat isu lagi royalti yang tadi saya sebut 10% akan naik 15%," kata Meidy dalam rapat pleno bersama Baleg DPR RI, Rabu (22/1/2025).
Baca Juga
Selain kenaikan royalti, Meidy mengatakan, kebijakan pemerintah lain yang membuat pengusaha tambang nikel menjerit adalah penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 12%. Meidy menyebut para penambang di APNI sudah melakukan penambang secara puluhan tahun dan memiliki pengalaman serta finansial, tetapi baru pada 2025 merasa kesulitan dengan kenaikan PPN.
"Di awal tahun kami dibuka dengan PPN 12% yang sangat berdampak kepada pertambangan. Karena alat berat itu masuk dalam barang mewah yang akhirnya harga alat berat itu sudah naik," kata Meidy.