Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penambang Resah Royalti Nikel Diisukan Naik jadi 15%, Ini Kata ESDM

Kementerian ESDM buka suara terkait isu kenaikan royalti nikel yang dikeluhkan pengusaha tambang.
Proses penambangan Nikel PT Vale Indonesia Tbk. di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Jumat (28/7/2023)/Bisnis-Paulus Tandi Bone
Proses penambangan Nikel PT Vale Indonesia Tbk. di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Jumat (28/7/2023)/Bisnis-Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku tidak mengetahui isu terkait royalti nikel yang disebut akan naik dari 10% menjadi 15%.

Adapun, kabar mengenai pemerintah akan menaikkan royalti bijih nikel itu pertama kali diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey dalam rapat pleno bersama Baleg DPR RI, Rabu (22/1/2025).

Menanggapi hal tersebut, Direktur Pembinaan Program Minerba Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengaku tidak tahu info lebih lanjut. Dia berdalih kebijakan itu bukan berada di bawah Kementerian ESDM.

"Saya belum dapat infonya karena nggak di saya kebetulan. Saya jadi nggak ikut itu [pembahasannya]-nya, jadi belum tahu saya," kata Julian di Kompleks DPR RI, Kamis (23/1/2025).

Sebelumnya, pengusaha penambang nikel yang tergabung dalam APNI menjerit karena kebijakan baru pemerintah pada awal 2025. Adapun, salah satu kebijakan itu adalah mengenai royalti untuk nikel yang akan ditingkatkan oleh pemerintah dari yang sebelumnya 10% menjadi 15%. 

Meidy menilai kebijakan ini akan mengurangi keuntungan dari penambang.

"Kemarin kami dapat isu lagi royalti yang tadi saya sebut 10% akan naik 15%," katanya.

Selain kenaikan royalti, Meidy mengatakan, kebijakan pemerintah lain yang membuat pengusaha tambang nikel menjerit adalah penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 12%. Meidy menyebut para penambang di APNI sudah melakukan penambang secara puluhan tahun dan memiliki pengalaman serta finansial, tetapi baru pada 2025 merasa kesulitan dengan kenaikan PPN. 

"Di awal tahun kami dibuka dengan PPN 12% yang sangat berdampak kepada pertambangan. Karena alat berat itu masuk dalam barang mewah yang akhirnya harga alat berat itu sudah naik," kata Meidy.

Kebijakan lain yang dirasa memberatkan lainnya yakni, erkait dengan penerapan BBM biosolar B40. Meidy mengatakan implementasi campuran bahan bakar nabati berbasis sawit tersebut akan menyebabkan kenaikan biaya produksi bahan bakar. 

"Minggu kedua di Januari kami didampak lagi dengan B40. Mau nggak mau kami cost produksi bertambah," jelasnya.

Tak hanya itu, Meidy mengatakan kebijakan pemerintah yang membuat pengusaha nikel menjerit yakni pembaruan aturan mengenai devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA). Masa simpan DHE diperpanjang dari minimal 3 bulan menjadi 1 tahun.  

"Di minggu ketiga, barusan ini kami ditambah lagi dengan DHE hasil ekspor 100% 1 tahun. Cost-nya makin bertambah," ujar Meidy.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper