Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Selamatkan Kelas Menengah, Pemerintah Perlu Perkuat Sektor Industri

Ekonomi dinilai tidak tumbuh seperti yang diinginkan, kinerja sektor industri pun belum optimal, sehingga kelas menengah masih dalam kondisi sulit.
Pekerja beraktivitas pada Alva Manufacturing Facility di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (20/9/2023).  / Bisnis-Arief Hermawan P
Pekerja beraktivitas pada Alva Manufacturing Facility di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (20/9/2023). / Bisnis-Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Kelas menengah merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi. Hanya saja, pakar khawatir jumlah kelas menengah akan terus menyusut apabila tidak ada aksi perkuat sektor industri.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya 9,4 juta penduduk kelas menengah telah 'turun kasta' ke kelompok aspiring middle class (calon kelas menengah) selama 2019 sampai dengan 2024.

Akibatnya pada 2024, jumlah kelas menengah menjadi 47,85 juta atau setara 17,13% dari total penduduk Indonesia. Padahal pada 2019, proporsi kelas menengah mencapai 57,33 juta atau setara 21,45% dari total penduduk.

Pemerintah sendiri sadar betul dampak negatif tren penyusutan jumlah kelas menengah tersebut. Bahkan, pergeseran struktur kelas masyarakat itu menjadi pembahasan khusus dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025—2029.

Dokumen tersebut menekankan pentingnya kelas menengah terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya pada 2023, kelompok kelas menengah (middle class) dan menuju kelas menengah (aspiring middle class) berkontribusi sebesar 82,3% terhadap konsumsi rumah tangga nasional.

Konsumsi rumah tangga merupakan komponen utama pembentuk PDB. Misalnya pada 2024, konsumsi rumah tangga berkontribusi hingga 54,04% terhadap pembentukan PDB.

"Penguatan peran kelas menengah menjadi langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi dan mencapai status negara berpenghasilan tinggi pada 2045," tulis Perpres 12/2025 tentang RPJMN 2025—2029, dikutip Kamis (27/2/2025).

Oleh sebab itu, RPJMN menargetkan peningkatan proporsi kelas menengah mencapai 20% dari total penduduk Indonesia pada 2029. Hanya saja, target tersebut cenderung pesimistis karena masih lebih rendah dari proporsi penduduk kelas menengah pra pandemi Covid-19 (21,45% pada 2019).

Wakil Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Jahen Fachrul Rezki mengaku tidak heran pemerintah menetapkan target peningkatan jumlah kelas menengah pemerintah yang konservatif.

"Karena memang ekonomi tidak tumbuh seperti yang diinginkan, khususnya dalam beberapa tahun terakhir," ujar Jahen kepada Bisnis, Kamis (27/2/2025).

Dia pun menekankan adanya benang merah antara jumlah kelas menengah dengan kinerja industri. Menurutnya, jumlah kelas menengah bisa meningkat apabila sektor industri kuat.

Oleh sebab itu, Jahen mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan bisa menciptakan lapangan kerja yang punya nilai tambah tinggi. Sejalan dengan itu, pemerintah perlu meningkatkan produktivitas pekerja dan perusahaan.

"Encouraging [mendorong] semakin banyak big firms [korporasi besar], khususnya yang inovatif, sehingga bisa semakin banyak menyerap tenaga kerja," jelasnya.

Di samping itu, Jahen menggarisbawahi pentingnya program-program yang membuat kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, hingga perumahan menjadi semakin terjangkau.

Senada, Guru Besar Universitas Paramadina Ahmad Badawi Saluy meyakini cara terbaik meningkatkan jumlah kelas menengah adalah dengan memperkuat sektor industri.

Badawi tidak heran apabila beberapa tahun belakangan jumlah kelas menengah terus turun karena besarnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam beberapa waktu terakhir. Kendati demikian, dia menekankan industri tidak bisa disalahkan.

Bagaimanapun, sambungnya, tujuan pebisnis adalah mencari untung. Oleh sebab itu, jika pemasukan tidak sejalan dengan pengeluaran maka perlu dilakukan efisiensi seperti dengan PHK.

Badawi pun menilai tanggung jawab ada di pemerintahan. Menurutnya, pemerintah harus melakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan industri.

"Pemerintah harus serius membuat semacam tim untuk mengevaluasi apa yang menjadi kebutuhan mereka itu, kebijakan apa yang misalkan yang perlu. Jadi dibuat semacam instrumen dalam rangka penyelamatan industri," jelas Badawi dalam diskusi secara daring, Kamis (27/2/2025).

Sebagai informasi, kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia memang terus menurun dalam puluhan tahun terakhir. Dalam catatan Indef, manufaktur sempat berkontribusi hingga 32% terhadap pembentukan PDB Indonesia pada 2002.

20 tahun setelahnya atau tepatnya pada 2022, kontribusi manufaktur tinggal 18% terhadap pembentukan PDB Indonesia. Artinya, ada penurunan hingga 14%.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper