Bisnis.com, JAKARTA — Adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, mengungkapkan ambisi pemerintah menaikkan rasio penerimaan negara hingga 23% terhadap produk domestik bruto/PDB.
Ambisi tersebut diungkapkan oleh Hashim ketika menjadi pembicara dalam acara CNBC Economic Outlook 2025 di Jakarta Selatan pada Rabu (26/2/2025).
Dia mencatat bahwa rasio penerimaan negara hanya mencapai 12,1% terhadap PDB. Menurutnya, angka tersebut tertinggal cukup jauh dari negara-negara tetangga Indonesia.
"Target kita sama dengan revenue ratio [rasio penerimaan] Kamboja itu 18% menurut Bank Dunia. Nanti kita target 23%, itu Vietnam," jelas Hashim.
Pendiri Arsari Group itu pun mengungkapkan Prabowo sudah memberi penugasan khusus kepada Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu untuk menaikkan penerimaan perpajakan.
Caranya, Hashim menjelaskan pemerintah ingin mengincar aktivitas ekonomi bayangan alias shadow economy. Dia mengutip temuan Bank Dunia yang memperkirakan ekonomi bayangan di Indonesia mencapai 25% sampai dengan 30% dari PDB.
Baca Juga
Dengan demikian, dia meyakini jika pemerintah berhasil memajaki aktivitas ekonomi bayangan maka penerimaan negara bertambah drastis. Menurut perhitungannya, akan ada penambahan penerimaan negara paling tidak Rp900 triliun per tahun apabila pemerintah berhasil memajaki aktivitas ekonomi bayangan.
"Berarti apa? Kita tidak akan ada budget deficit lagi. Kita akan budget surplus, tapi kita harus melakukan dengan sebaik-baiknya," jelas elite Partai Gerindra itu.
Pakar Ragu soal Incar Shadow Economy
Kendati demikian, pakar ragu pemerintah bisa mengantongi banyak penerimaan dari shadow economy. Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono mendefinisikan shadow economy sebagai kegiatan ekonomi, baik secara legal maupun ilegal, yang tidak masuk ke dalam PDB.
Menurutnya, shadow economy bisa dibagi menjadi empat kategori yaitu illegal economy (ekonomi ilegal), unreported economy (ekonomi tak terlapor), unrecorded economy (ekonomi tak terekam), dan informal economy (ekonomi tak resmi).
"Ketika didiskusikan shadow economy, harus disepakati dulu apa cakupan dan pengertian dari shadow economy tersebut. Setelah tahu rinciannya, kita bakal paham apakah realistis jika pajaknya digali," ujar Prianto kepada Bisnis, Kamis (20/2/2025).
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia (UI) ini mencontohkan illegal economy seperti perdagangan narkoba, prostitusi, perjudian, penyelundupan, dan penipuan.
Oleh sebab itu, sambungnya, pajak tidak dapat dikenakan atas transaksi illegal economy karena aktivitasnya melanggar hukum. Prianto mengatakan aparat penegak hukum harus menindak aktivitas illegal economy terlebih dulu sebelum pajaknya bisa dipungut.
Sementara itu, dia mencontohkan unreported economy sebagai transaksi ekonomi yang tidak dilaporkan ke otoritas pajak karena menghindari aturan pajak. Untuk hal ini, pajak dapat dikenakan, meskipun tidak mudah melalui pemeriksaan pajak terlebih dulu untuk memastikan utang pajaknya.
Selanjutnya, menurut Prianto, wajib pajak yang diperiksa tersebut dapat melakukan perlawanan sehingga timbul sengketa pajak. Kasus demikian mengakibatkan otoritas pajak tidak langsung mendapatkan setoran pajak karena harus menunggu putusan pengadilan yang sudah inkrah.
Lalu, dia mencontohkan unrecorded economy sebagai aktivitas ekonomi yang tidak tercatat dan tidak masuk di dalam data resmi seperti pembayaran upah karyawan dilakukan secara diam-diam, pekerjaan mengasuh anak tidak dilaporkan, hingga transaksi barter tidak melibatkan pertukaran uang tunai.
Oleh sebab itu, pajak dapat dikenakan juga meskipun tidak mudah melalui pemeriksaan pajak terlebih dulu untuk memastikan utang pajaknya. Dalam konteks ini, kasusnya sama dengan unreported economy karena wajib pajak dapat mengajukan ketidaksetujuannya sehingga muncul sengketa pajak.
Terakhir, Prianto mencontohkan informal economy sebagai transaksi di pedagang asongan/kaki lima/keliling, warung, toko kelontong, pekerja rumah tangga, tukang ojek, penarik becak, pengemudi bajaj, pemulung sampah, dan sejenisnya. Menurutnya, tidak banyak pajak yang dapat dipungut dari sektor ekonomi informal.
Dia pun menyimpulkan berdasarkan empat jenis shadow economy, potensi pajak yang dapat digali hanya di sektor unrecorded dan unreported economy.
"Namun demikian, peluang untuk mendapatkan cuan pajak tidak mudah karena akan ada perlawanan pajak. Otoritas pajak tidak bisa secara langsung memungut pajak," kata Prianto.
Di samping itu, direktur eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu menekankan sektor unrecorded dan unreported economy dapat menyumbang pajak apabila wajib pajaknya setuju dengan perhitungan pajak oleh petugas pajak.
Kondisi demikian, jelasnya, terjadi selama perhitungan pajak dari kantor pajak didukung oleh bukti yang kuat. Ringkasnya, Prianto menilai target tambahan penerimaan negara yang signifikan dari shadow economy kurang realistis.