Bisnis.com, JAKARTA - Di era kemudahan akses teknologi, fenomena konsumsi instan lewat paylater semakin populer terutama di kalangan Generasi Z dan Alpha. Suatu sore di sebuah kafe di Jakarta, obrolan sekelompok anak muda mencuri perhatian saya.
Di era kemudahan akses teknologi, fenomena konsumsi instan lewat paylater semakin populer terutama di kalangan Generasi Z dan Alpha. Suatu sore di sebuah kafe di Jakarta, obrolan sekelompok anak muda mencuri perhatian saya.
“Gue dong udah dapet tiket konsernya si A pakai paylater enam kali tanpa bunga” ucap salah satu dari mereka. Temannya menimpali, “Oya, bagaimana caranya?” dan yang lain juga ikut berbagi cerita tentang mudahnya membeli ponsel, sepatu bermerek, atau tiket liburan dengan beberapa klik di ponsel dalam hitungan menit, tanpa harus membayar di muka.
Obrolan itu membuat saya tercenung, antara kagum sekaligus khawatir. Kagum pada kemajuan teknologi yang memudahkan kita bisa menikmati berbagai hal yang dulu sulit diperoleh.
Namun ada kekhawatiran, apakah mereka sadar bahwa paylater adalah utang yang dapat mendorong mereka terjebak perangkap kebiasaan berutang?
Mereka menganggap paylater sebagai solusi finansial praktis, tanpa memahami risiko yang mengintai, yang bisa berujung penumpukan utang (over-indebtedness) tanpa rencana keuangan yang matang. Layaknya bom waktu yang siap meledak saat mereka dihadapkan kebutuhan finansial besar
Baca Juga
Hal lain yang sangat mengganggu adalah betapa mudahnya penyedia paylater menyetujui permohonan kredit dari anak-anak muda, yang belum memiliki kemampuan finansial yang memadai. Persetujuan paylater sering diberikan hanya dalam hitungan menit, tanpa adanya pemeriksaan kredit yang menyeluruh. Bagaimana jika mereka tidak mampu membayar tepat waktu dan akhirnya macet?
Di masa depan, jika mereka ingin membeli rumah atau mobil melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) atau Kredit Pemilikan Mobil (KPM), riwayat kredit yang buruk akan menjadi hambatan besar bagi masa depan finansial mereka.
Penggunaan paylater di Indonesia terus meningkat pesat. Berdasarkan Survei Kredivo Consumer Insight 2023, pertumbuhannya mencapai 38%, terutama di kalangan Gen Milenial dan Z.
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per akhir Agustus 2024, terdapat 17,9 juta pengguna paylater di Indonesia, dengan total kredit outstanding mencapai Rp18,01 triliun.
Tingkat non-performing loans (NPL) atau kredit macet untuk layanan ini tercatat sebesar 2,24%. Meskipun masih berada dalam kategori aman, angka ini signifikan menunjukkan ada sejumlah pengguna, termasuk anak muda, yang kesulitan melunasi utang paylater mereka.
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi salah satu faktor utama yang mendorong perilaku konsumsi impulsif untuk memiliki barang atau pengalaman tertentu agar tidak ketinggalan.
Berbagai negara, seperti Australia, Inggris, dan Singapura, menaruh perhatian besar terhadap upaya mengurangi risiko utang paylater, terutama di kalangan generasi muda. Australia misalnya, layanan paylater berkembang pesat di kalangan anak muda dan telah menimbulkan masalah utang berlebihan.
Untuk mengatasi hal ini, Australian Securities and Investments Commission (ASIC) menjalankan kampanye Moneysmart untuk edukasi pengelolaan utang kepada generasi muda dan penerapan kewajiban pemberian pinjaman yang bertanggung jawab (Responsible Lending Obligations-RLO) bagi penyedia paylater, untuk memastikan kredit diberikan sesuai kemampuan konsumen.
Singapura juga meluncurkan kampanye Think Before You Spend, melibatkan media sosial dan influencer lokal untuk edukasi tentang risiko utang serta memperkenalkan BNPL Code of Conduct, untuk memperketat penilaian kredit dan transparansi biaya.
Belajar dari negara-negara maju tersebut, OJK sebagai regulator paylater di Indonesia bisa mengadopsi praktek RLO di Australia dan BNPL Code of Conduct di Singapura untuk mengembangkan regulasi yang komprehensif, mencakup pengawasan yang efektif, kewajiban pemberian pinjaman yang bertanggung jawab (RLO), dan perlindungan konsumen. Langkah ini penting agar inovasi industri paylater tumbuh sehat dan mendukung stabilitas keuangan.
Namun, regulasi saja tidak cukup. Literasi keuangan adalah kunci agar generasi muda memahami risiko paylater. OJK dapat memperluas program Sikapi Uangmu dengan edukasi khusus paylater, meluncurkan aplikasi digital, memanfaatkan influencer, dan kerja sama dengan kementerian pendidikan untuk mengintegrasikan literasi keuangan ke kurikulum sekolah.
Dengan strategi tersebut, OJK membantu generasi muda memahami serta menikmati manfaat inovasi keuangan digital sekaligus terlindungi dari risiko yang mungkin muncul di masa depan.