Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) melaporkan stok bahan baku khususnya garam untuk industri aneka pangan mulai menipis, bahkan sejumlah perusahaan hanya memiliki sisa pasokan garam untuk 1-3 bulan ke depan.
Kondisi ini dipicu upaya pemerintah dalam melakukan percepatan pembangunan pergaraman nasional yang diterapkan mulai tahun ini berdasarkan beleid Peraturan Presiden (Perpres) No 126/2022. Alhasil, impor garam industri aneka pangan dihentikan.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan pihaknya pun telah melaporkan kondisi ini kepada Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmia dan Menko Pangan Zulkifli Hasan bahwa industri aneka pangan belum dapat sepenuhnya menggunakan garam lokal karena kebutuhan spesifikasi yang belum cocok.
"Awalnya ada kesanggupan dari lokal untuk memasok industri pangan, tapi tadi saya laporkan ke Pak Menteri bahwa setelah dicoba bahan baku lokal, ternyata pelaku usaha khususnya yang sangat membutuhkan spek khusus itu tidak bisa memakai," kata Adhi saat ditemui di Kantor Kemenperin, Rabu (15/1/2025).
Adapun, kebutuhan garam industri untuk aneka pangan 600.000 ton awalnya mulai dipasok dari dalam negeri. Namun, setelah digunakan setidaknya 300.000 ton garam lokal tidak dapat dipakai oleh industri aneka pangan.
Garam industri tersebut dinilai tidak memenuhi spesifikasi industri lantaran kadar air yang masih tinggi, magnesium yang tinggi hingga menyebabkan penggumpalan. Alhasil, mutu standar dari produk tersebut tidak tercapai atau reject sehingga tidak dapat dijual.
Baca Juga
"Itu sudah disaksikan oleh beberapa surveyor dari produsen industri pangan itu sudah diundang untuk melihat, ada kontaminasi titik hitam dan sebagainya yang tidak diperbolehkan di dalam pangan seperti itu," jelasnya.
Adapun, produk reject yang dimaksud kebanyakan merupakan produk bumbu-bumbu untuk masak, mie instan, bumbu powder, dan sebagainya. Setidaknya ada 4 perusahaan pengguna garam industri aneka pangan terbesar yang melaporkan tingkat reject produk yang cukup tinggi.
"Itu rata-rata penggunaan mereka satu perusahaan bisa antara 50.000-80.000 ton per tahun. Mereka sudah trial order ke PT Garam, dan sudah diberikan yang terbaik oleh PT Garam, setelah dicoba tetap tidak bisa," ujarnya.
Bahkan, Adhi menyebut terdapat satu perusahaan bumbu masakan multinasional besar yang sudah ada sejak tahun 1970 yang terancam berhenti produksi dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan jika kebutuhan garam tidak dapat terpenuhi.
"Satu unit usahanya itu mereka lapor ada yang 5000 karyawan. Yang lebih jelek lagi, terpaksa mereka harus impor dari sister company-nya yang di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Nah kan, kita rugi besar dong. Garamnya nilainya kecil tapi nilai tambahnya besar dan kita harus impor produk jadi," jelasnya.
Hal ini pun sangat mendesak lantaran industri kini memasuki masa puncak produksi untuk mempersiapkan permintaan jelang lebaran. Faktanya, sejumlah produsen justru kekurangan bahan baku garam tersebut karena tidak dapat mengimpor.
"Saya sangat berharap, untuk kita tidak harus impor tapi bagaimana kita mencari solusi. Kalau dalam negeri tidak tersedia tentunya kita harus ada solusi agar industri makanan tidak berhenti," jelasnya.
Adhi menerangkan bahwa garam kebutuhannya dalam setiap produk terbilang kecil, namun memiliki nilai tambah yang tinggi. Misalnya, dalam komposisi mie instan, garam menjadi salah satu bumbu yang volume nya sedikit hanya sekitar 3% dari total komposisi bumbu yang ada di dalamnya.
"Produknya rusak, mutu nya turun, reject nya banyak, tinggi. Jadi, Pak Menteri menyampaikan akan membantu dan secepatnya akan menjadi perhatian untuk dijadikan solusi dan bertemu dengan KKP, Menko Pangan, Menteri Perdagangan, dan Menko Perekonomian," pungkasnya.