Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai debt switching merupakan skema terbaik yang bisa dipilih pemerintah untuk membayar utang burden sharing ke Bank Indonesia sebesar Rp100 triliun yang jatuh tempo pada 2025.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menjelaskan debt switching merupakan strategi pengelolaan utang yang bertujuan untuk menggantikan utang jangka pendek dengan utang baru, biasanya dengan tenor yang lebih panjang.
"Skema debt switch menjadi salah satu opsi yang terbaik [pemerintah] untuk memitigasi risiko penerbitan kembali surat utang yang jatuh tempo tersebut yang notabene adalah variable rate [suku bunga yang berubah-ubah], yang pada akhirnya akan mendorong stabilitas pasar SBN," jelas Josua kepada Bisnis, Jumat (27/12/2024).
Menurutnya, debt switching mempunyai tiga keunggulan daripada opsi lain. Pertama, pemerintah mengurangi tekanan untuk menyediakan dana besar dalam waktu singkat sehingga ruang fiskal jangka pendek lebih longgar.
Kedua, pemerintah dapat menghindari risiko gagal bayar atau tekanan fiskal yang dapat memengaruhi persepsi pasar dan stabilitas ekonomi. Dengan demikian, sambungnya, debt switching memberikan sinyal positif kepada investor bahwa pemerintah memiliki strategi pengelolaan utang yang terencana.
Ketiga, dalam situasi ekonomi yang masih dalam pemulihan, debt switching memungkinkan pemerintah memprioritaskan belanja untuk program produktif atau kebutuhan mendesak lainnya tanpa terganggu oleh kewajiban pembayaran utang jangka pendek.
Baca Juga
Kendati demikian, Josua mengingatkan agar pemerintah dan Bank Indonesia turut memperhatikan beberapa faktor. Pertama, dengan memperpanjang tenor utang, total beban bunga yang harus dibayar pemerintah pada masa depan akan meningkat—terutama jika tingkat suku bunga di pasar meningkat—sehingga membebani pemerintahan yang akan datang.
Kedua, debt switching bergantung pada kondisi pasar obligasi, termasuk tingkat bunga dan minat investor terhadap SBN pemerintah. Jika kondisi pasar memburuk maka pemerintah harus menawarkan bunga yang lebih tinggi untuk menarik pembeli.
Ketiga, debt switch tidak menyelesaikan masalah utang melainkan hanya menunda jatuh tempo. Artinya pelaku pasar bisa mengembangkan persepsi negatif terutama apabila tidak diimbangi dengan strategi fiskal jangka panjang yang jelas dari pemerintah.
"Secara keseluruhan, debt switch dapat menjadi skema terbaik untuk menghadapi tekanan fiskal jangka pendek jika diimplementasikan dengan hati-hati dan transparan," jelas Josua.
Dia mengimbau pemerintah terus memperhatikan risiko beban bunga yang meningkat dan memastikan strategi jangka panjang untuk mengurangi rasio utang terhadap produk domestik bruto.
Pemerintah, sambungnya, harus memperkuat penerimaan negara, efisiensi belanja, dan kebijakan pro-investasi untuk mengurangi ketergantungan pada utang baru.
"Jika tidak, beban utang ini bisa menjadi masalah serius bagi pemerintahan yang akan datang," ungkap Josua.
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David E. Sumual melihat debt switching sebagai pilihan terbaik terutama apabila pemerintah memproyeksi kondisi perekonomian ke depan semakin berat seperti suku bunga acuan yang relatif masih tinggi.
"Kalau untuk tahun depan memang ruang fiskalnya agak berat ini. Mudah-mudahan juga harga minyaknya dan rupiah kita bisa terkendali ya. Kalau enggak juga ini makin sempit lagi ruang fiskal," ujar David kepada Bisnis, Jumat (27/12/2024).
Lebih lanjut, dia mengingatkan utang burden sharing pemerintah ke Bank Indonesia (BI) bukan hanya jatuh tempo pada tahun depan melainkan juga tahun-tahun berikutnya. Oleh sebab itu, perlu pengelolaan yang dinamis.
Jika kondisi perekonomian masih sulit maka burden sharing masih bisa menjadi pilihan. Jika kondisi perekonomian sudah membaik maka David mendorong pemerintah segera melunasi utang ke BI—bukan sekadar debt switching.
"Kayak kita mengelola keuangan rumah tangga saja gitu kan. Kalau memang bebannya lagi berat ya kita kan minta segala macam usaha gitu ya untuk rescue atau apapun gitu. Kalau misalnya lagi bagus ya kita lakukan percepatan," jelasnya.
Kesepakatan Pemerintah-BI
Pemerintah dan BI menyepakati utang burden sharing sebesar Rp100 triliun yang jatuh tempo pada 2025 dibayar melalui mekanisme debt switching, yakni mengonversi utang jangka pendek menjadi utang jangka panjang.
Burden sharing sendiri merupakan kebijakan yang diambil akibat pandemi Covid-19. Lewat kebijakan tersebut, BI diperbolehkan membeli surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana untuk menstabilkan sistem keuangan.
Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hasil Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021, terdapat SBN seri variable rate yang khusus dijual kepada BI di pasar perdana dengan total nilai sebesar Rp612,56 triliun.
Utang pemerintah ke BI tersebut akan jatuh tempo pada 2025 senilai Rp100 triliun, lalu pada 2026 senilai Rp154,5 triliun, pada 2027 senilai Rp154,5 triliun, pada 2028 senilai Rp152,06 triliun, dan pada 2029 senilai Rp51,5 triliun.
Untuk membahas utang jatuh tempo Rp100 triliun pada tahun depan itu, pemerintah dan BI melakukan koordinasi pada hari ini, Jumat (27/12/2024). Hasilnya, disepakati BI akan melakukan pembelian SBN dari pasar sekunder pada 2025.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menjelaskan pembelian itu akan dilakukan melalui mekanisme pertukaran SBN secara bilateral (bilateral debt switch) dengan pemerintah yang dilakukan atas burden sharing yang jatuh tempo pada 2025.
"Mekanisme debt switch tersebut dilakukan dengan pertukaran antara SBN yang jatuh tempo dan SBN reguler, yang dapat diperdagangkan di pasar [tradeable] dengan menggunakan harga pasar yang berlaku sesuai mekanisme pasar," ujarnya dalam keterangannya, Jumat (27/12/2024).
SBN penggantinya, sambung Ramdan, adalah SBN dengan tenor yang lebih panjang sesuai dengan kebutuhan operasi moneter BI dan kesinambungan fiskal pemerintah. Hanya saja, dia tidak menjelaskan lebih lebih lanjut detail SBN pengganti tersebut.
Sebagai informasi, ruang fiskal pemerintah pada APBN 2025 memang sempit. Selain ke BI, Kemenkeu mencatat profil utang jatuh tempo pemerintah pada 2025 mencapai Rp800,33 triliun.
Jumlah tersebut terdiri dari jatuh tempo SBN sejumlah Rp705,5 triliun dan jatuh tempo pinjaman senilai Rp94,83 triliun.
Untuk pembayaran bunga utang pada 2025 direncanakan senilai Rp552,9 triliun. Alhasil, Pemerintahan Prabowo perlu menyiapkan uang dari kas negara sekitar Rp1.353,23 triliun untuk membayar utang pokok dan bunga utang.
Di sisi lain, APBN 2025 telah menetapkan belanja pemerintahan senilai Rp3.621,3 triliun. Dengan skema ini, hanya Rp2.268,07 triliun yang dapat dibelanjakan karena sisanya digunakan untuk membayar utang.