Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) berharap agar pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan kenaikan harga jual eceran (HJE) produk hasil tembakau mulai 1 Januari 2025. Pasalnya, industri hasil tembakau (IHT) masih tertekan dampak cukai tinggi.
Ketua Umum Gappri Henry Najoan mengatakan, pihaknya berharap agar industri mendapatkan relaksasi dengan tidak menaikkan tarif HJE dan cukai hasil tembakau (CHT) selama periode 2025-2027.
"Permohonan ini dengan maksud, agar IHT bisa melakukan pemulihan setelah mengalami kontraksi akibat dampak kenaikan tarif CHT yang di atas nilai keekonomian selama 2020-2024 selain akibat pandemi yang belum sepenuhnya pulih," kata kepada Bisnis, dikutip Senin (16/12/2024).
Henry menerangkan, dengan tidak menaikkan tarif CHT dan HJE, maka akan mempersempit penyebaran rokok ilegal di pasar sehingga konsumsinya pun dapat ditekan.
Di sisi lain, dia menerangkan bahwa kenaikan tarif terhadap jenis sigaret kretek tangan (SKT) dengan rata-rata kisaran 14,07% akan membuat harga SKT yang selama ini bersaing dengan rokok ilegal akan naik lebih tinggi.
"Beban tambahan seperti PMK No. 97/PMK 012/2024 yang menaikkan tarif HJE dengan rata-rata tertimbang, 10,07% ini akan menambah berat bagi kami karena masih di angka dua digit," ujarnya.
Baca Juga
Terlebih, tahun 2025, juga ada kenaikan tarif PPN menjadi 10,7% dan kenaikan tarif upah minimum. Ketiga komponen tersebut, tentu akan menambah beban bagi perusahaan.
"Simulasi yang coba kami lakukan, menunjukkan bahwa SKT isi 12 batang yang di harga Rp12.000 - Rp14.000 akan naik menjadi Rp15.000 - Rp17.000," tuturnya.
Sementara itu, rokok ilegal jenis sigaret kretek mesin (SKM) dengan isi 20 batang tetap di harga sekitar Rp10.000- Rp12.000 per pak. Perbandingan harga antara rokok legal dan ilegal tersebut dikhawatirkan berpotensi membuat rokok ilegal makin marak di pasaran.
Adapun, pihaknya masih belum dapat memperkirakan penurunan produksi akibat dampak dari kenaikan HJE tahun depan. Namun, beberapa pelaku usaha masih memesan pita cukai hingga akhir tahun ini.
"Yang pasti, kalau kita cermati laporan-laporan perusahaan yang go public, menunjukkan bahwa semua perusahaan terpangkas marginnya. Ini menunjukkan bahwa kondisi pasar masih labil," jelasnya.
Di sisi lain, tahun ini bagi industri hasil tembakau mendapat tekanan yang cukup berat, baik dari sisi fiskal karena kenaikan tarif cukai yang beruntun maupun nonfiskal dengan diterbitkannya PP Nomor 28/2024.
Dalam beberapa kesempatan, Gappri disebut telah mencoba mengkomunikasikan terkait kebijakan seperti HJE kepada pemerintah baik melalui surat maupun melalui media.
"Ini dengan maksud, agar suara industri terdengar ke pengambil kebijakan, tetapi sepertinya pemerintah punya pertimbangan berbeda sehingga lahir PMK tersebut," pungkasnya.