Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Djonieri & Muhamad Anugrah

Kepala Departemen Pengaturan & Pengembangan Perasuransian dan Deputi Direktur Direktorat Pengembangan Perasuransian Penjaminan & Dana Pensiun

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Memerangi Fraud Asuransi

Fraud asu­­­ransi adalah kejahatan keuangan terbesar kedua di AS setelah penggelapan pajak.
Ilustrasi fraud. /Freepik
Ilustrasi fraud. /Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Menurut For­­­bes (April 2024), pe­­­ru­­­sahaan asuransi di Amerika Serikat (AS) mengalami kerugian sekitar US$308,6 mi­­­­­­­liar per tahun akibat fra­­­ud, dengan sektor asuran­­­si kesehatan menjadi penyumbang terbesar, men­ca­­pai US$105 miliar per ta­­­­hun.

Diikuti oleh asuransi jiwa sebesar US$74,7 mili­­ar, dan asuransi umum se­­­be­­sar US$45 miliar. Fraud asu­­­ransi adalah kejahatan keuangan terbesar kedua di AS setelah penggelapan pajak. Di Indonesia, pola serupa terlihat, terutama pada kasus yang melibatkan asuransi komersial dan BPJS Kesehatan.

Mengutip pemberitaan Bisnis Indonesia (29/3/2023), seorang nasabah asuransi berinisial WS melakukan pe­­nipuan dengan merekayasa kematiannya sendiri demi mencairkan klaim Rp15 miliar. Modus yang digunakan adalah berpura-pura tercebur ke Sungai Kalimalang, se­­mentara pihak keluarga membuat laporan palsu ke kepolisian dengan harapan laporan itu bisa digunakan untuk mencairkan klaim asuransi kematian. Namun, investigasi yang dilakukan pihak asuransi mengungkap bahwa WS se­­benarnya masih hidup.

Kasus ini bukan satu-satunya contoh fraud asuransi di Indonesia. Pada 2021, kejadian fraud melibatkan seorang agen asuransi yang bekerja sama dengan pegawai bank di Manado, Sulawesi Selatan. Mereka memalsukan polis dari sebuah perusahaan asu­­ran­­si kepada tujuh nasabah. Akibat aksi ini, nasabah mengala­mi kerugian Rp200 miliar.

Pengadilan tak hanya menuntut penggantian kerugian dari terdakwa, juga memberikan sanksi kepada perusahaan asu­­­ransi yang dinilai lalai da­­­lam melakukan pengawasan. Ak­­­tivitas fraud menyebabkan industri asuransi menjadi ti­­­dak sehat, baik secara reputasi maupun finansial.

Di industri asuransi, fraud terbagi menjadi dua kategori: hard fraud dan soft fraud. Hard fraud adalah jenis fraud yang ekstrem, yakni seseorang dengan sengaja menciptakan situasi tertentu untuk bisa mengajukan klaim, mi­­­salnya dengan menyebabkan kecelakaan, bunuh diri, dan melukai diri sendiri.

Soft fraud terjadi ketika klaim yang sah dilebihkan atau dipalsukan, se­­­­per­­ti rumah sakit yang me­­nge­­­nakan perawatan tidak perlu, pemalsuan informasi kesehatan, dan perbaikan kendaraan yang tidak perlu pada kejadian kecelakaan. Soft fraud adalah jenis yang paling umum terjadi dan merugikan perusahaan asuransi melalui pembayaran klaim yang tidak seharusnya. Baik hard fraud maupun soft fraud dapat meningkatkan kenaikan pada biaya risiko yang ditanggung asuransi.

Industri asuransi bergantung pada keseimbangan antara premi yang diterima dan klaim yang dibayarkan, sehingga fraud menjadi an­­­caman serius. Dampak fraud pada perusahaan asuransi meliputi beberapa aspek pen­­­ting. Pertama, kerugian finansial. Fraud meningkat­­­kan loss ratio (klaim le­­­bih besar daripada premi) se­­hing­­ga perusahaan me­­­ngalami kerugian.

Kedua, pe­­­nurunan kepercayaan publik. Kasus fraud yang berulang dapat merusak reputasi perusahaan dan mengurangi kepercayaan nasabah. Ketiga, beban administrasi. Penanganan kasus fraud memerlukan investigasi dengan sumber daya besar, menambah biaya operasional, dan menghabiskan waktu.

Seiring dengan pertumbuhan pesat industri asuransi, modernisasi tata ke­­­lo­­­la fraud menjadi ma­­­kin krusial. Oleh karena itu, diperlukan inovasi di beberapa area. Pertama, pemanfaatan teknologi analitik dan big data.

Teknologi ini me­­­mung­­kinkan perusahaan men­­­deteksi pola perilaku mencurigakan seperti klaim yang bernilai tidak wajar, ber­­­ulang, atau terjadi dalam wak­­­tu singkat setelah polis dibeli. Artificial intelligence (AI) juga berperan dalam mem­­­­­­prediksi klaim yang ber­­­po­­­tensi fraud dengan meng­­­gunakan data historis.

Kedua, adanya database ber­­­sama. Fraud seringkali me­­­libatkan berbagai pihak, termasuk agen asuransi dan penyedia layanan kesehatan. Dengan berbagi informasi me­­­lalui database, perusahaan asuransi dapat meminimal­kan risiko fraud di perusahaan lain.

Pada April 2024, OJK memperkenalkan SIPELAKU, platform database fraud yang membantu industri me­­­lakukan upaya preventif dalam mencegah risiko pe­­nya­­­­lahgunaan produk keuangan. Database ini akan menyimpan daftar hitam pelaku fraud.

Ketiga, penguatan proses ana­­lisis risiko (underwriting) dan klaim. Seleksi risi­­ko yang lebih ketat dalam un­­der­­­writing (misalnya data individu yang akurat, kebiasaan calon tertanggung, dan riwayat pertanggungan) dapat mengurangi fraud. Teknologi seperti biometrik dan verifikasi klaim dapat memastikan pembayaran klaim di­­berikan secara tepat kepada nasabah yang sah.

Dengan mengombinasikan teknologi canggih, pembuatan database, dan penguatan proses seleksi risiko, industri asuransi dapat menekan kerugian finansial akibat fraud.

Langkah-langkah ini akan menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan aman bagi nasabah serta perusahaan, sekaligus mendorong pertumbuhan industri asuransi yang berkelanjutan, sehat dan tepercaya. Hal ini akan bermuara pada kontribusi industri asuransi yang lebih optimal pada perekonomian nasional.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper