Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PMI Manufaktur Kontraksi 5 Bulan, Kemenperin Singgung Kebijakan Tak Pro Industri

Kemenperin menyebut tren kontraksi PMI manufaktur dalam 5 bulan terakhir disebakan kebijakan yang masih belum mendukung pengembangan industri.
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut tren kontraksi Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur yang terjadi dalam 5 bulan terakhir disebakan kebijakan yang masih belum mendukung pengembangan industri. 

Untuk diketahui, PMI manufaktur Indonesia masih berada pada level kontraksi yakni 49,6 pada November 2024. Kendati demikian, indeks tersebut meningkat dibandingkan bulan sebelumnya 49,2. 

Indeks manufaktur nasional itu telah terkontraksi sejak Juli 2024 lalu di level 49,3 atau kontraksi pertama sejak 34 bulan ekspansif di atas 50, sementara pada Agustus 2024 merosot ke angka 48,9. 

"Masih ada kebijakan yang belum mendukung industri, kita berharap kebijakan itu bisa mendukung sehingga industri punya daya saing lebih," kata Sekjen Kemenperin Eko S. Cahyanto, Senin (2/11/2024). 

Sebelumnya, Kemenperin juga telah mengakui bahwa selama belum ada kebijakan yang mendukung sektor manufaktur, maka tak heran jika PMI manufaktur terus berada pada level kontraksi. 

Salah satu kebijakan yang disebut menjadi salah satu penyebab yaitu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 yang merelaksasi aturan impor produk tertentu. 

Kebijakan tersebut membuat pasar domestik Indonesia dibanjiri oleh produk jadi impor karena menghilangkan aturan penerbitan persetujuan teknis (pertek) dari Kementerian Perindustrian untuk produk pakaian jadi.

Adapun, dari 518 kode HS kelompok komoditas yang direlaksasi impornya dalam kebijakan tersebut, hampir sebagian besar, yakni 88,42% atau 458 komoditas, merupakan kode HS barang jadi yang sudah bisa diproduksi oleh industri dalam negeri. 

Sebelumnya, dalam laporan S&P Global terbaru, operasional manufaktur Indonesia masih mengalami penurunan dari sisi produksi, permintaan baru, dan ketenagakerjaan.  

Economics Director S&P Global Market Intelligence Paul Smith mengatakan, hal tersebut dikarenakan aktivitas pasar yang belum bergairah karena ketidakpastian geopolitik yang menyebabkan klien waspada dan tidak bergerak.

“Menggambarkan kondisi pasar lambat, inflasi biaya perlahan menghilang dan tepat di bawah tren historis,” kata Paul dalam laporan terbarunya, Jumat (1/11/2024). 

Kondisi pasar yang lesu membuat penumpukan pekerjaan baru turun karena perusahaan mampu menyelesaikan pekerjaan, sedangkan stok barang jadi meningkat. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper