Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengungkap terdapat potensi berisiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal apabila kebijakan pembatasan penjualan industri hasil tembakau (IHT), termasuk rokok diberlakukan.
Adapun, beleid yang dimaksud yakni tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 (PP 28/2024) dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes).
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemnaker, Indah Putri Anggoro mengatakan pihaknya memahami terdapat ketidakseimbangan antara aspek ekonomi dan kesehatan dalam kebijakan tersebut.
“Ini bukan hanya soal cukai, tetapi dampaknya ke tenaga kerja di industri tembakau, termasuk industri kreatif yang mendukung ekonomi lokal,” kata Indah dalam keterangan resminya, dikutip Senin (18/11/2024).
Berdasarkan catatan Kemnaker, setidaknya sudah ada 63.000 pekerja yang terdampak PHK hingga saat ini. Bahkan, gelombang PHK dapat bertambah hingga 2,2 juta orang jika kebijakan ini diterapkan secara ketat.
“Belum lagi, sekitar 89% pekerja di industri tembakau ini adalah wanita, banyak di antaranya kepala keluarga dengan tingkat pendidikan rendah,” ujarnya.
Baca Juga
Menurut dia, dampak sosial dari PHK di sektor tersebut dapat memicu kriminalitas yang meresahkan. Indah pun mengakui pentingnya antisipasi dari pemerintah dan DPR untuk memitigasi efek yang terjadi.
Pasalnya, kebijakan pembatasan rokok mencakup larangan penjualan rokok eceran, penerapan cukai IHT, aturan kemasan polos, batasan penjualan rokok 200 meter dari area pendidikan hingga pembatasan iklan di media.
"Multiplier effect PHK ini besar, dari tukang ojek hingga warung kopi ikut terkena dampaknya," jelasnya.
Dalam hal ini, pihaknya akan berdiskusi dengan Kemenkes dan berharap Rancangan Permenkes yang sedang dibahas benar-benar mendengarkan masukan dari semua pemangku kepentingan.
“Kami berharap proses penyusunan kebijakan ini benar-benar mempertimbangkan keseimbangan antara aspek kesehatan dan keberlanjutan industri," tuturnya.
Sebelumnya, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menyatakan bahwa pemangku kepentingan di industri tembakau masih menyatakan tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan tersebut.
Ketua Umum Gappri Henry Najoan mengatakan keterlibatan pihak industri tembakau dalam perumusan kebijakan PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes yang diinisasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sangat minim.
Henry menegaskan, rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Permenkes dirancang tidak dilakukan secara transparan dan tanpa melibatkan pelaku industri tembakau.
Justru, pengawasan terhadap rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek akan sulit dilakukan di lapangan dahan hanya akan menambah beban aparat.
Dia pun mempertanyakan keakuratan serta validitas data yang digunakan Kemenkes dalam meramu kebijakan tersebut.
“Padahal, jumlah pabrik rokok itu semakin menurun dan prevalensi perokok anak juga sudah turun, namun data ini tidak digunakan,” tuturnya.
Di sisi lain, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi NasDem, Nurhadi menyebut pembahasan beleid semestinya dirumuskan bersama seluruh pemangku kepentingan.
"Ini menunjukkan bahwa Kemenkes seolah bekerja sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya ke tenaga kerja,” ujarnya.
Nurhadi turut menekankan bahwa sebelumnya, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, telah menyampaikan jika Rancangan Permenkes diputuskan untuk ditunda.
“Tapi, kenapa kegaduhan ini masih terjadi? Apakah jajaran Kemenkes tidak satu komando dengan pimpinan? Ini perlu diklarifikasi dengan jajaran di bawah Menteri Kesehatan,” pungkasnya.