Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Butuh Waktu dan Tenaga Ekstra Kejar Pertumbuhan Ekonomi 8%

Pemerintah butuh upaya ekstra untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8%. Tidak mudah di tengah tren penurunan perekonomian.
Jajaran gedung bertingkat di Jakarta, Minggu (7/7/2024). Bisnis/Abdurachman
Jajaran gedung bertingkat di Jakarta, Minggu (7/7/2024). Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA —Indonesia membutuhkan waktu lama dan tenaga ekstra untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi di tengah kondisi tren penurunan.

Ekonom Senior Core Indonesia Hendri Saparini mengatakan bahwa ada kecenderungan rata-rata pertumbuhan ekonomi turun secara persisten dari sekitar 7% per tahun pada 1980–1990an hingga akhir-akhir ini hanya sekitar 5%.

Adapun, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2004–2014 hanya 5,7%. Lalu pada 2015–2023, reratanya merosot menjadi 4,9%.

“Kita ingin mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 8%. Tapi fakta yang kita hadapi sebenarnya, kalau kita lihat time series, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata itu turun,” kata Hendri dalam Seminar Nasional bertajuk ‘Urgensi Industrialisasi Untuk Mencapai Pertumbuhan 8%’ di Jakarta, Rabu (16/10/2024).

Padahal, Hendri menjelaskan untuk keluar dari middle income trap diperlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas. 

Pertumbuhan ekonomi ini juga harus berlangsung dalam jangka waktu cukup lama, sehingga tercipta lapangan kerja luas dan nilai tambah besar. 

Sementara itu, Indonesia sudah lama berada di level middle income country sejak 1996. Namun GNI per capita 2023 masih sebesar US$4.870. Di sisi lain, studi Felipe (2012) mengungkap bahwa sebuah negara memiliki waktu 42 tahun untuk dapat keluar dari middle income country.

“Kita bisa simpulkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat minimal, sangat mediocre dan sangat eksklusif. Padahal yang kita perlukan adalah tinggi dan inklusif. Ini kita tidak tinggi dan eksklusif. Jadi ini yang perlu kita ubah, karena kita perlu menuju ke 8%,” ujarnya.

Untuk itu, Hendri menyampaikan bahwa untuk keluar dari middle income trap adalah dengan lompatan pertumbuhan ekonomi.

Pasalnya, jelas Hendri, semua negara untuk menuju masuk ke negara maju membutuhkan lompatan ekonomi agar pendapatan perkapita meningkat.

Mirisnya, Hendri mengungkap bahwa ekonomi Indonesia tidak bergerak dan jauh tertinggal dengan negara di kawasan Asia. Sebut saja Hongkong dan Republik Korea yang membutuhkan waktu 7 tahun untuk keluar dari middle income trap. Sedangkan Singapura membutuhkan waktu selama 10 tahun.

“Kalau kita lihat Indonesia, kita sangat minimal dalam pertumbuhan ekonomi. Kita tidak mau lihat ke belakang, tetapi ini menjadi dasar pilihan, bahwa kita harus jujur, ekonomi kita tidak bergerak. Kita tidak bisa mendorong pendapatan masyarakat,” ungkapnya.

Menurut Hendri, sektor yang mampu mendorong pertumbuhan tinggi berkualitas adalah manufaktur. Namun, Indonesia justru mengalami de-industrialisasi dini (premature de-industrialization).

“Pengalaman negara-negara maju, selama periode demographic bonus, sumbangan sektor manufaktur terhadap PDB sekitar 30-40%,”

Di sisi lain, sumbangan sektor manufaktur Indonesia pada 2002 sekitar 32%, dan angkanya terus menyusut hingga saat ini hanya sekitar 18% terhadap PDB. Hal itu pun berdampak pada kesulitan penciptaan lapangan kerja, nilai tambah, pendapatan per kapita, dan menjadikan ketergantungan industri pada bahan baku dan barang penolong impor, hingga angka pengangguran yang membludak.

Untuk itu, dia menilai perlu adanya pendekatan baru untuk mendorong ekonomi tumbuh tinggi menuju 8% yang inklusif. Salah satunya dengan implementasi ekonomi Pancasila yang mendasarkan pada strategi dan kebijakan asas kebersamaan.

Menurutnya, strategi ekonomi harus memastikan semua ikut dalam kegiatan ekonomi dan menikmati hasil ekonomi (demokrasi ekonomi), swasta, BUMN, serta koperasi diberikan peluang dan dilibatkan dalam kegiatan ekonomi.

Pemerintah juga harus merevitalisasi industri. Dalam hal ini, dengan membangun industri dasar dan mengerakkan semua sektor di semua daerah, termasuk industri manufaktur. Serta, adanyastrategi dan kebijakan industri yang sophisticated dan inovatif di tengah perubahan global.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper