Bisnis.com, JAKARTA - Pasokan berlebih produk baja di China makin rentan menggempur pasar Indonesia. Minimnya restriksi perdagangan menjadikan RI sebagai sasaran 'empuk' ekspor baja dengan harga jual di bawah harga produksi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah semestinya mulai memberikan proteksi lebih besar untuk menjaga industri baja nasional.
"Tentu yang paling 'empuk' adalah negara yang punya pasar besar, tetapi hambatannya kecil dan itu adalah Indonesia. Ada juga India, pasarnya besar, tapi hambatannya tinggi," kata Faisal kepada Bisnis, Kamis (3/10/2024).
Faisal menyoroti antisipasi utama yang harus dilakukan yakni pengamanan impor ilegal. Pasalnya, fenomena produk baja ilegal tak sekali atau dua kali ditemukan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Misalnya, pada Kamis (26/10/2024), Kemendag melakukan ekspose produk baja ilegal senilai Rp11 miliar di Cikarang, Jawa Barat. Produk tersebut diduga tak dilengkapi Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SPPT SNI) dan Nomor Pendaftaran Barang (NPB).
"Impor ilegal sudah terjadi sejak lama dan terutama meningkat pascapandemi sejalan dengan kondisi di China yang pada dasarnya sekarang itu memang oversupply," ujarnya.
Baca Juga
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor besi dan baja (HS 72) periode Januari-Juni 2024 atau semester I/2024 mencapai US$1,53 miliar dengan volume 1,99 miliar kg. Angka tersebut naik tipis dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$1,52 miliar dengan volume 1,67 miliar kg.
"Di China saat ini demand-nya itu lemah, rendah tetapi produksinya meningkat, kalau liat PMI China kontraksi tetapi inflasinya sekarang itu rendah skeali 0,2% jadi kemampuan produksi China tidak mampu sebagian diserap dalam negeri," jelasnya.
Tak hanya pengetatan impor, perbaikan dari sisi peraturan tata niaga juga perlu dilakukan sehingga produk-produk yang telah mampu diproduksi dalam negeri tidak lagi diimpor.
"Walaupun dari sisi perbedaan harga bisa jadi lebih murah dari China karena pada dasarnya mereka lebih murah, tetapi perlu pengawasan dari impor supaya tidak mematikan industri dalam negeri," jelasnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data Global Energy Monitor, pabrikan baja di China saat ini memiliki total kapasitas produksi mencapai 967.000 ton per tahun. Angka tersebut lebih besar 2 kali lipat dari kapasitas baja gabungan di AS, Uni Eropa, dan India.
Namun, penurunan tajam dalam permintaan domestik dan harga baja di China, terutama akibat melambatnya sektor properti, mendorong produsen baja menjual pasokan berlebih dengan harga murah ke pasar internasional.
Tercatat pada 2023, ekspor baja China naik 36,2% dari tahun sebelumnya, mencapai 90,3 juta ton. Berdasarkan data bea cukai China, pasar ekspor terbesar baja China pada 2023 adalah Korea Selatan dengan nilai US$6,30 miliar, disusul oleh Vietnam US$6,08 miliar, Uni Eropa US$4,14 miliar, sementara Indonesia berada di peringkat keenam dengan nilai U$3,24 miliar.