Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menduga Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sengaja mengakali desain anggaran pendidikan beberapa tahun terakhir. Hal itu dilakukan hanya untuk memenuhi mandatory spending 20% dari APBN namun pada kenyataannya tidak pernah terealisasi.
Awalil beralasan, ada dua pos alokasi anggaran pendidikan yang seakan tidak pernah digunakan sejak 2020, yakni anggaran pendidikan pada non-kementerian negara/lembaga dan pembiayaan pendidikan. Menurutnya, dua pos anggaran tersebut baru ada sejak 2020 dan 2021.
Menurutnya, anggaran pendidikan pada non-kementerian negara/lembaga merupakan dana cadangan yang dipegang bendahara umum negara (menteri keuangan) apabila kementerian/lembaga lain yang memerlukan tambahan anggaran pada tahun berjalan.
Pada 2023, kata dia, pos tersebut dianggarkan Rp75,58 triliun namun realisasinya hanya Rp2,76 triliun atau hanya 3,65%.
"Mulai 2021, [alokasi anggaran pendidikan] ini berlangsung terus," jelas Awalil dalam webinar daring, Selasa (10/9/2024).
Begitu juga dengan pembiayaan pendidikan (dalam anggaran pendidikan melalui pembiayaan), yang pada 2023 dianggarkan sebanyak Rp49,5 triliun namun realisasinya 0 atau tidak ada sama sekali—temuan serupa didapatkan dalam LKPP 2021 dan 2022.
Baca Juga
Pos tersebut juga bersifat dana cadangan untuk dana abadi pendidikan, penelitian, kebudayaan, hingga perguruan tinggi.
Oleh sebab itu, Awalil menyimpulkan Kemenkeu dalam beberapa tahun terakhir menyusun anggaran pendidikan hanya untuk memenuhi mandatory spending 20% dari APBN sesuai amanat UUD 1945.
Padahal, dalam realisasinya anggaran pendidikan selalu di bawah 20% dari APBN beberapa tahun terakhir. Berikut detailanya:
- 18,25% pada 2020
- 17,21% pada 2021
- 15,51% pada 2022
- Rp16,45% pada 2023.
Oleh sebab itu, dia mengatakan ratusan triliun anggaran wajib untuk pendidikan tidak digunakan sejak 2020.
"Anggaran pendidikan ini [disusun] hanya memenuhi 20% ketika dianggarkan, ketika direalisasikan selama empat tahun terakhir tidak memenuhi," ujar Awalil.
Dia pun mempertanyakan, apakah beberapa tahun terakhir Kemenkeu sudah melanggar konstitusi karena tidak merealisasikan amanat Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 yang menegaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN.
Kendati demikian, Awalil juga bingung karena DPR juga selalu menerima pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dari Kemenkeu.
Sebagai informasi, belakangan anggaran pendidikan memang menjadi sorotan banyak pihak terutama usai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan agar dilakukan formulasi ulang anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN (mandatory spending).
Jawaban Sri Mulyani
Sri Mulyani dalam kesempatan terpisah menjelaskan basis anggaran pendidikan sebesar 20% selama ini dihitung dari belanja negara. Namun, dia merasa sumber belanja negara penuh dengan ketidakpastian sehingga anggaran pendidikan menjadi naik-turun dan realisasinya kerap tak sampai 100%.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani mengusulkan mandatory spending pendidikan diatur ulang agar bersumber dari 20% pendapatan negara—bukan 20% belanja negara.
Kendati demikian, usulan tersebut mendapat banyak penolakan karena akan mengakibatkan anggaran pendidikan turun cukup drastis. Bagaimanapun, besaran pendapatan negara selalu lebih kecil dari besaran belanja negara.
Dalam RAPBN 2025, jika anggaran pendidikan bersumber dari 20% belanja negara maka jumlahnya sekitar Rp721 triliun. Namun, jika anggaran pendidikan diambil dari 20% pendapat negara maka jumlahnya berkurang menjadi sekitar Rp590 triliun atau berkurang hingga Rp131 triliun.