Bisnis.com, JAKARTA — Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR menolak rencana usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar dilakukan formulasi ulang anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN (mandatory spending).
Sebagai konteks, Sri Mulyani dalam kesempatan terpisah menjelaskan basis anggaran pendidikan sebesar 20% selama ini dihitung dari belanja negara. Namun, dia merasa sumber belanja negara penuh dengan ketidakpastian sehingga anggaran pendidikan menjadi naik-turun dan realisasinya kerap tak sampai 100%.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani mengusulkan mandatory spending pendidikan diatur ulang agar bersumber dari 20% pendapatan negara—bukan 20% belanja negara.
Kendati demikian, Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi PKB Syaiful Huda menyatakan pihaknya tidak setuju dengan usulan tersebut karena anggaran pendidikan akan turun cukup drastis. Bagaimanapun, besaran pendapatan negara selalu lebih kecil dari besaran belanja negara.
"Kami menolak usul wacana dari Bu Sri Mulyani terkait dengan rencana meninjau mengotak atik anggaran pendidikan," tegas Huda di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (6/9/2024).
Dia menjelaskan, dalam RAPBN 2025, jika anggaran pendidikan bersumber dari 20% belanja negara maka jumlahnya sekitar Rp721 triliun. Namun, jika anggaran pendidikan diambil dari 20% pendapat negara maka jumlahnya berkurang menjadi sekitar Rp590 triliun.
Baca Juga
"Itu bisa langsung terkoreksi [turun] hampir Rp130an triliun," ujarnya.
Huda mengingatkan, saat ini Komisi X DPR sudah membentuk Panita Kerja (Panja) Biaya Pendidikan. Panja tersebut ingin mencari tahu akar permasalahan dari pembiayaan pendidikan yang belakangan banyak menjadi sorotan seperti gaji pengajar yang rendah hingga terus naiknya uang kuliah tunggal.
Oleh sebab itu, usulan Sri Mulyani dirasa bertolak belakang dengan semangat Komisi X. Menurut Huda, pengelolaan anggaran pendidikan harus disentralisasi ke satu lembaga.
"Kami sedang bekerja keras supaya mandatory ini [anggaran pendidikan 20% dari belanja negara] sepenuhnya untuk fungsi pendidikan dan itu dikelola oleh Kemendikbud," jelasnya.
Senada, sebelumnya anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Andreas Hugo Pareira juga mengkritisi usulan Sri Mulyani karena dirasa tak menyentuh akar masalah. Dia menilai, permasalahan ada di level implementasinya.
Selama ini, sambungnya, anggaran pendidikan diimplementasikan sebagai anggaran fungsi pendidikan. Alhasil, anggaran pendidikan diberikan ke banyak kementerian/lembaga.
Andreas mencontohkan, mandatory spending pendidikan 20% dalam APBN 2024 senilai Rp665,02 triliun. Alokasinya; 52% untuk transfer daerah dan dana desa, 12% untuk pengeluaran pembiayaan, 9% untuk Kementerian Agama, 7% untuk non kementerian/lembaga, dan 5% untuk kementerian/lembaga yang mengelola pendidikan.
Sementara itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) 'hanya' memperoleh alokasi 15%. Akibatnya, kerap kali terjadi problematika penyerapan.
Andreas mencontohkan, alokasi 52% untuk transfer daerah dan dana desa dari mandatory spending pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda). Masalahnya, Pemda sering menerjemahkan anggaran untuk pembangunan jalan menuju sekolah sebagai anggaran pendidikan.
Oleh sebab itu, daripada reformulasi sumber dana mandatory spending, Andreas mengusulkan dua kebijakan perbaikan yang harus diterapkan ke depan.
"Pertama, perlu didefinisikan secara tegas yang dimaksudkan dengan anggaran pendidikan. Kedua, kalau mau lebih efektif tanggung jawab alokasi dan pengawasan harus ada pada satu birokrasi yaitu di Kementerian Pendidikan dan Ristek," tutupnya.