Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah menyebut risiko dari belanja wajib atau mandatory spending yang menyerap lebih dari 70% anggaran negara setiap tahunnya, termasuk alokasi untuk pendidikan. Kondisi ini mempersempit ruang fiskal yang tersedia untuk belanja prioritas lainnya.
Dalam Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2025 yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2024, pemerintah mengkaji risiko pelaksanaan kebijakan mandatory spending. "Pemenuhan kebutuhan APBN yang bersifat wajib sebagai amanat perundang-undangan memengaruhi ruang gerak fiskal pemerintah," demikian pernyataan resmi pemerintah, Minggu (8/9/2024).
Pemerintah mencatat bahwa peningkatan alokasi mandatory spending membatasi kapasitas APBN untuk mendanai program-program prioritas, seperti percepatan pembangunan infrastruktur yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah peningkatan alokasi belanja pendidikan yang diatur dalam konstitusi, di mana anggaran pendidikan harus mencapai minimal 20% dari total belanja negara.
"Peningkatan ini dapat berdampak pada total belanja negara dan defisit anggaran," lanjut pemerintah.
Di bawah rencana pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, alokasi mandatory spending dalam APBN 2025 diperkirakan mencapai Rp2.608,9 triliun atau sekitar 72,2% dari total belanja negara. Jumlah ini meningkat 10,2% dibandingkan tahun 2024, yang mencapai Rp2.367,5 triliun. Peningkatan tersebut terutama berasal dari anggaran pendidikan dan belanja nondiskresi Dana Alokasi Umum (DAU).
Meski demikian, pemerintah berupaya memitigasi risiko fiskal dengan mengoptimalkan pemanfaatan alokasi mandatory spending, termasuk melalui program reformasi pendidikan untuk meningkatkan efektivitas belanja.
Baca Juga
Dalam menghadapi keterbatasan ruang fiskal, pemerintah juga berupaya memperluas ruang fiskal dengan meningkatkan pendapatan negara melalui optimalisasi perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta meningkatkan efisiensi belanja dengan strategi spending better.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan agar reformulasi mandatory spending anggaran pendidikan didasarkan pada acuan pendapatan, bukan belanja. Menurutnya, penggunaan belanja sebagai acuan menyebabkan anggaran pendidikan membengkak tanpa penyerapan yang optimal. "Yang perlu kita bahas adalah definisi anggaran pendidikan, terutama sumber perhitungan 20% tersebut," ujarnya.