Bisnis.com, JAKARTA - OPEC+ disebut tengah menghadapi dilema dalam menyelaraskan tujuannya dengan kebutuhan pasar terhadap minyak mentah. Kartel minyak tersebut juga mengirimkan pesan yang membingungkan ke pasar.
Mengutip Bloomberg pada Senin (9/9/2024), Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, atau OPEC+, telah memilih untuk menunda pelonggaran pembatasan pasokan pada minggu lalu.
Namun, Global Head of Oil di Trafigura, Ben Luckock menyebut kini mereka harus memilih arah mana yang ingin ditempuh pada tahun depan, mengingat prospek keseimbangan tidak bagus.
OPEC+ telah menahan pasokan dalam upaya untuk menopang harga, namun hal ini membuat kelompok tersebut kehilangan pangsa pasar kepada saingannya, termasuk produsen minyak serpih (shale) AS, bahkan ketika kapasitas cadangan anggotanya sendiri tidak terpakai.
Sementara itu, meski pembatasan kini diperpanjang, harga minyak masih berada di bawah tekanan di tengah kekhawatiran melambatnya konsumsi global, dengan Brent terancam merosot kembali di bawah US$70 per barel.
Luckock mengatakan pasar minyak ingin mengetahui jika harga kembali naik, OPEC tidak akan mengembalikan pasokan minyak tersebut atau akan mengembalikannya dengan lebih lambat. Kelompok tersebut perlu memberikan kepercayaan pasar karena volume tersebut tidak diperlukan saat ini, tambahnya.
Baca Juga
Badan Energi Internasional atau The International Energy Agency (IEA) mengatakan pada Agustus lalu bahwa keseimbangan global akan berubah menjadi surplus pada kuartal keempat jika OPEC tetap berpegang pada rencananya untuk mengembalikan produksi. Badan yang bermarkas di Paris ini akan memperbarui perkiraan tersebut pada akhir pekan ini.
Analis Goldman Sachs Group Inc., Daan Struyven mengatakan pada konferensi tersebut bahwa meskipun potensi perang harga antara OPEC+ dan produsen minyak serpih AS tidak mungkin terjadi, harga dasar minyak mungkin akan bergeser dari sekitar US$75 - US$80 menjadi US$70. Itulah perkiraan harga titik impas serpih jangka panjang.
Sementara itu, Morgan Stanley menurunkan proyeksi harga minyak mentah Brent untuk kedua kalinya dalam beberapa minggu seiring dengan tantangan permintaan meningkat sementara pasokan tetap melimpah.
Analis Morgan Stanley, Martijn Rats, dalam laporannya menyebut, harga rata-rata minyak Brent akan bergerak di level US$75 per barel pada kuartal keempat. Proyeksi tersebut turun dibandingkan perkiraan sebelumnya sebesar US$80 antara bulan Oktober dan Desember, yang dikeluarkan bulan lalu.
Sebelumnya, Morgan Stanley juga telah memangkas proyeksi harga minyak dari level US$85 per barel. Selain itu, prediksi untuk sebagian besar tahun depan juga sedikit berkurang.
Harga minyak Brent baru-baru ini anjlok ke level penutupan terendah sejak akhir tahun 2021 karena kekhawatiran yang berkelanjutan mengenai melemahnya permintaan China yang menyatu dengan sinyal bahwa ekonomi AS mungkin melambat.
Pada saat yang sama, produksi tetap mencukupi, sehingga memaksa OPEC+ untuk menunda rencana pelonggaran pembatasan produksinya sendiri.
“Pergerakan harga minyak saat ini memiliki kesamaan dengan periode-periode lain dengan kelemahan permintaan yang cukup besar. Timespread atau perbandingan harga di sepanjang kurva berjangka mengindikasikan potensi lonjakan persediaan seperti saat resesi, meskipun masih terlalu dini untuk menjadikan hal ini sebagai asumsi dasar,” jelas Rats dalam laporan tersebut.
Pemangkasan proyeksi yang dilakukan Morgan Stanley juga didukung oleh kekhawatiran bank-bank terkemuka lainnya. Goldman Sachs Group Inc. mengurangi proyeksinya pada bulan lalu, sementara baru-baru ini Citigroup Inc. mengatakan pasar terlihat kelebihan pasokan dan harga bisa mencapai rata-rata US$60 per barel pada tahun 2025 kecuali OPEC+ memangkas pasokan lebih dalam.