Bisnis.com, MEDAN – Kelompok Tani Fajar di Desa Pematang Setrak Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) Sumatra Utara menikmati harga istimewa dari penjualan beras organik produksi mereka.
Pegiat pertanian organik Poktan Fajar Parlan Sibarani mengatakan beras organik yang dikemas dalam merek dagang “Sri Wangi” tersebut mampu menembus angka Rp20.000 per kilogram (kg).
Harga itu jauh melampaui beras biasa kualitas super atau premium sekalipun di Sumut yang menurut laman Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) rata-rata saat ini di jual berkisar Rp15.250 per kg.
“Perlakuan organik dalam pertanian kami tentu bikin beras ini jauh lebih sehat, bebas dari bahan-bahan kimia berbahaya bagi tubuh karena seluruh proses bertaninya menggunakan bahan alami,” tutur Parlan beberapa waktu lalu.
Poktan Fajar merupakan klaster pertanian organik yang ditetapkan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumut sejak tahun 2011.
Kelompok ini tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sri Karya Sergai dan merupakan satu-satunya Poktan yang aktif mengembangkan cara-cara bertani ramah lingkungan, termasuk membuat pupuk organik sendiri.
Baca Juga
Parlan mengatakan, dari segi hasil hampir tak ada beda antara bertani organik dengan metode pertanian pada umumnya. Dia menyebut kelompoknya bisa menghasilkan rata-rata 7-8 ton per hektare padi dalam sekali panen.
“Justru cara yang organik ini bikin tanah kembali subur. Mikroba akan semakin banyak, cacing pengurai tanah juga nggak akan mati jika dibanding dengan penggunaan bahan-bahan kimia yang malah bikin tanah jenuh sampai akhirnya produksi stagnan bahkan cenderung turun,” jelasnya.
Sawah yang menghasilkan padi organik harus memenuhi sejumlah persyaratan teknis dan serangkaian prosedur. Parlan menyebut semua jenis bibit bisa menghasilkan beras organik selama diberi perlakuan yang semestinya.
Sebelum ditanam ke sawah atau lahan yang lebih luas, lanjutnya, benih akan terlebih dahulu dikarantina di pot-pot kecil. Butuh waktu sekitar 2 tahun dengan perlakuan terukur sampai hasil uji kadar menunjukkan benih layak disertifikasi organik.
“Kalau nggak [dibudidayakan dulu], kami juga nggak berani tanam karena khawatir masih ada residu [bahan kimia] yang tersisa di dalam bulir berasnya,” tambah pria yang sudah bertani sejak tahun 2021 ini.
Beternak sapi menjadi jalan yang dipilih Parlan untuk mendukung pertanian organik yang digalakkannya. Dengan beternak, Parlan mampu menyediakan bahan baku pupuk organiknya sendiri.
“Saya selalu ingat pesan mbah saya agar sekaligus beternak kalau bertani. Supaya, kotoran ternak dimanfaatkan untuk pupuk. Sedangkan jerami dan dedak bekas penggilingan bisa untuk makan ternak. Urin sapi juga bisa jadi penyubur tanaman sekaligus pengendali hama,” jelas lulusan Fakultas Hukum dari salah satu universitas di Medan ini.
Sementara itu, Ketua Poktan Fajar, Wagimin mengungkapkan bahwa total luas lahan milik Gapoktan Sri Karya mencapai 262 Ha. Sebanyak 23 Ha diantaranya ialah milik anggota Poktan Fajar. Namun, baru 19 Ha lahan yang bisa dikembangkan poktan menjadi lahan pertanian organik.
“Kalau total lahan Poktan Fajar sebagai klaster organik itu sekitar 23 hektare. Jadi masih ada 5 hektare lahan lagi yang perlu dikembangkan jadi sawah organik,” ujar Wagimin.
Wagimin menyebut keorganikan beras produksi Poktan Fajar telah melalui penilaian dan pengujian dari Sucofindo.
Poktan Fajar kini dikenal sebagai pionir pertanian organik di Sumatra Utara. Pertemuan dengan KPw Bank Indonesia Sumatra Utara pada tahun 2009 hingga menjadi klaster pertanian organik BI pada tahun 2013 silam semakin membuka jalan Poktan Fajar menularkan semangat bertani secara organik ke seluruh Indonesia.
Parlan Sibarani mengatakan, Bank Indonesia tak hanya mengukuhkan Poktan Fajar sebagai klaster pertanian organik, namun juga membantu sejumlah alat dan mesin pertanian hingga balai pertemuan bagi Gapoktan Sri Karya.
“Kalau saya pribadi lebih meminta didatangkan tenaga-tenaga ahli organik untuk kasih pelatihan ke petani,” ujar Parlan.
Saat ini ada 33 dari 59 petani anggota Poktan Fajar yang telah melakukan pertanian secara organik. Beras produksi mereka tak hanya dijual ke konsumen yang sebagian besar ada di Labuhanbatu Utara, tapi juga untuk konsumsi keluarga mereka sendiri.
Parlan juga menyebut masyarakat di desanya mulai ikut menerapkan pertanian yang ramah lingkungan. Dikatakannya, hampir tidak ada lagi petani yang membakar lahan usai panen.
“Justru orang mau mengangkat sampah sisa panen sekarang karena bisa untuk bikin pupuk organik,” katanya. (K68)