Bisnis.com, JAKARTA – Pergeseran atau shifting kelas menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia menuju level yang lebih rendah, yakni aspiring middle class (AMC) memberikan dampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti membeberkan penurunan jumlah masyarakat kelas menengah tercermin dari rendahnya daya beli golongan tersebut.
Utamanya, konsumsi terhadap bahan pangan, pakaian, dan berbagai kebutuhan rumah akan semakin lesu.
“Akan berkurang daya beli masyarakat kelas menengah, konsumsi turun, pertumbuhan ekonomi turun,” ungkapnya kepada Bisnis, Jumat (30/8/2024).
Pasalnya, sejumlah sektor yang berpotensi terdampak dari penurunan kelas menengah, seperti keuangan, properti, otomotif, pariwisata, dan ritel. Sektor-sektor tersebut padahal menjadi menyumbang utama pertumbuhan ekonomi Tanah Air.
Jika tak diperhatikan, risiko di sektor keuangan dan bank berupa kredit macet yang lebih tinggi dan menurunnya profit perbankan tak dapat dihindarkan.
Baca Juga
Senada, Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet turut melihat turunnya kelas menengah menjadi calon kelas menengah itu juga akan ikut mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi secara umum.
Di mana kinerja pertumbuhan ekonomi merupakan angka agregasi dan penurunan ini tentu juga disebabkan karena faktor penyesuaian konsumsi termasuk di dalamnya konsumsi untuk plesiran seperti pariwisata maupun konsumsi yang sifatnya barang wajib yang terlihat dalam penjualan ritel, misalnya.
Yusuf menjelaskan, Sederhananya ketika kelompok kelas menengah mengalami penurunan dan melakukan penyesuaian konsumsi, tentu permintaan mereka terhadap kredit konsumsi perbankan akan mengalami penurunan.
“Penurunan permintaan kredit sedikit banyak juga akan ikut mempengaruhi kinerja di sektor keuangan,” jelasnya, Jumat (30/8/2024).
Dari sisi ritel, penyesuaian konsumsi yang dilakukan oleh kelompok kelas menengah juga akan ikut mempengaruhi penjualan ritel secara umum. Misalnya, semula pertumbuhan penjualan ritel di atas 5% ,namun dengan adanya penyesuaian konsumsi maka pertumbuhan penjualan melaju ke bawah 5%.
“Jadi pada dasarnya kelas menengah ini punya posisi yang strategis terutama jika Indonesia ingin beranjak atau naik kelas ke kategori negara yang lebih maju,” lanjutnya.
Efek Besar Kelas Menengah
Bukan tanpa sebab kelas menengah yang saat ini dikategorikan dengan pengeluaran Rp2.040.262—9.909.844 per kapita per bulan disebut menjadi tulang punggung ekonomi RI.
Membandingkan ke beberapa waktu belakang, persentase kelompok kelas menengah mencapai 23% dalam periode 2014 ke 2023. Pada saat itu realisasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 2018 mencapai 5,05%.
Namun pada 2023, kelompok kelas menengah hanya menyumbang proporsi sekitar 18% dan kalau kita perhatikan realisasi pertumbuhan untuk konsumsi rumah tangga di sepanjang 2023 itu mencapai 4,82%.
Artinya dari data tersebut terlihat bahwa penurunan kelompok kelas menengah akhirnya ikut berdampak terhadap laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Sehingga ketika konsumsi rumah tangga ini mengalami penurunan maka sedikit banyak ini juga akan terakumulasi ke pertumbuhan ekonomi secara umum.
Tak heran jika pertumbuhan ekonomi secara umum pada 2023 sebesar 5,05% atau lebih lambat dari 2018 yang mencapai angka 5,17%. Sejalan dengan adanya tren ‘turun kasta’ di kelompok kelas menengah.
“Perlambatan ini kami kira juga tidak terlepas dari penyesuaian konsumsi yang terjadi akibat turunnya kelas menengah,” ujarnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan setidaknya sebanyak 9,4 juta penduduk kelas menengah telah turun kasta ke kelompok aspiring middle class selama 2019 sampai dengan 2024.
Dia menunjukkan, pada 2019 tercatat ada 57,33 juta kelas menengah atau 21,45% dari total penduduk Indonesia. Kini pada 2024, jumlah kelas menengah menjadi 47,85 juta atau 17,13% dari total penduduk Indonesia.