Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan empat tersangka terkait dugaan korupsi dalam proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019—2022.
Keempat tersangka tersebut merujuk kepada Direktur Utama (Dirut) ASDP Ira Puspadewi, Direktur Komersial ASDP Muhammad Yusuf Hadi, Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Hari Muhammad Adhi Caksono, dan Dirut PT Jembatan Nusantara Andi Mashuri.
Menurut KPK, pengadaan kapal di PT ASDP tidak sesuai spesifikasi dan prosesnya juga diduga tidak sesuai dengan pengadaan yang diajukan.
Pengadaan atau penambahan armada dalam proyek tersebut sebenarnya legal. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika pembelian armada tersebut tidak sesuai spesifikasi karena barang yang dibeli dari PT Jembatan Nusantara tidak dalam kondisi baru.
Dalam kasus ini, KPK menduga para pelaku melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp1,3 triliun. Jika kelak dugaan KPK membuktikan adanya korupsi, maka hal tersebut akan makin menegaskan bahwa Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) masih menjadi lahan basah korupsi di BUMN.
Kondisi ini sama dengan situasi yang dihadapi di instansi lainnya jika mengacu pada laporan Tahunan KPK pada 2023. Laporan tersebut menyatakan bahwa korupsi terkait pengadaan masih menempati urutan terbesar kedua setelah gratifikasi/suap dari total jumlah tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK.
Baca Juga
Kasus dugaan korupsi pengadaan kapal di PT ASDP ini juga membuktikan bahwa sistem PBJ belum efektif dalam mencegah penyimpangan, termasuk kasus korupsi di BUMN. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah khusus yang komprehensif untuk meningkatkan efektivitas sistem PBJ di BUMN.
Lantas, langkah apa saja yang perlu dilakukan agar sistem PBJ di BUMN bisa berjalan secara efektif?
PBJ didefinisikan sebagai kegiatan perusahaan yang dimulai dari perencanaan kebutuhan dan diakhiri dengan penyerahan hasil pekerjaan dengan menggunakan anggaran perusahaan untuk mendapatkan barang dan jasa. Kementerian BUMN telah menetapkan peraturan mengenai pelaksanaan PBJ melalui PER-2/MBU/03/2023 tentang Pedoman Tata Kelola dan Kegiatan Korporasi Signifikan BUMN.
Dalam peraturan tersebut, BUMN wajib melaksanakan PBJ yang pembiayaannya bersumber dari anggaran BUMN. Salah satu tujuan PBJ adalah untuk mewujudkan pengadaan yang menghasilkan nilai untuk uang (value for money) dengan cara yang fleksibel dan inovatif, namun tetap kompetitif, transparan, akuntabel dengan dilandasi etika PBJ yang baik.
Untuk memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan dalam jumlah, kualitas, harga, waktu dan tempat yang tepat, efektif dan efisien dengan syarat dan ketentuan kontrak yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan, perusahaan wajib memiliki pedoman PBJ yang menerapkan prinsip efisien, efektif, kompetitif, transparan, adil dan wajar, terbuka, dan akuntabel.
Pedoman PBJ tersebut juga memuat hak-hak dan kewajiban pemasok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, kebijakan PBJ harus dipublikasikan atau dapat diakses oleh pemasok atau calon pemasok serta dipastikan telah dilaksanakan dengan baik.
Dalam pelaksanaannya, PBJ telah dilaksanakan secara kompetitif dan terbuka bagi penyedia barang dan jasa yang memenuhi persyaratan. Selain itu, PBJ dilakukan melalui persaingan yang sehat antar penyedia barang dan jasa yang setara dan memenuhi syarat dan kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan.
Sementara itu, tata cara PBJ dapat dilakukan dengan cara tender, tender terbatas, penunjukan langsung, dan pengadaan langsung. Selanjutnya, tata cara PBJ dapat menggunakan wadah digital yang terdiri dari sistem PBJ secara elektronik (e-procurement), sistem pendukung utama, dan sistem lokapasar secara elektronik (e-marketplace).
Meskipun pelaksanaan PBJ di BUMN telah diatur secara khusus, namun implementasinya masih perlu ditingkatkan. Terutama terkait sistem e-procurement yang selama ini dinilai efektif mencegah terjadinya permainan di PBJ, ternyata belum sepenuhnya mampu mencegah korupsi di BUMN. Hal ini dikarenakan oleh fakta bahwa panitia pengadaan hanya menerima dokumen tanpa on the spot melakukan verifikasi.
Oleh karena itu, agar sistem e-procurement berjalan efektif, Kementerian BUMN harus membuat peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan hasil penilaian oleh LPSE secara transparan. Regulator juga harus menetapkan pemisahan server komputer untuk setiap LPSE perusahaan.
Sebagai bagian dari pengawasan, perusahaan juga harus melakukan verifikasi dan audit sistem e-procurement secara berkala. Selain itu, perusahaan harus mengimplementasikan mekanisme pelaporan atas dugaan penyimpangan atau pelanggaran dalam pelaksanaan PBJ melalui optimalisasi Whistleblowing System (WBS).
Dengan mengefektifkan sistem PBJ di BUMN, maka potensi BUMN dieksploitasi melalui praktik korupsi akan dapat diminimalkan secara signifikan.