Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai pemerintah cukup realistis mematok nilai tukar rupiah pada level Rp16.100 per dolar Amerika Serikat (AS) seperti yang tertera dalam asumsi makro RAPBN 2025.
Faisal tidak menampik, belakangan kurs rupiah mulai menguat terhadap dolar AS. Terbaru, Bloomberg mencatat bahwa nilai tukar rupiah berada di posisi Rp15.500 per dolar AS pada perdagangan sore ini, Rabu (21/8/2024).
Kendati demikian, Faisal mengingatkan bahwa kurs rupiah tergantung permintaan dan penawaran. Artinya, jika permintaan pemerintah akan valuta asing (valas) lebih besar daripada penawaran valas maka kurs rupiah turun; begitu juga sebaliknya.
Oleh sebab itu, dia meyakini rupiah mulai menguat sekadar karena pemerintah telah menerbitkan obligasi global. Artinya, permintaan pemerintah akan valas sedang meningkat sehingga kurs rupiah turun.
"Kenapa sekarang mengungat? Karena [pemerintah] mengeluarkan sukuk global kan," jelas Faisal di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (21/8/2024).
Padahal, sambungnya, yang fundamental dari permintaan dan penawaran tersebut adalah transaksi ekspor-impor barang dan jasa pemerintah—bukan pasar obligasi global.
Baca Juga
Masalahnya, Faisal melihat neraca transaksi berjalan cenderung defisit beberapa kuartal terakhir. Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia (BI) mengungkapkan defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai US$2,2 miliar atau 0,6% dari produk domestik bruto (PDB) pada kuartal I/2024.
Bahkan, nilai tersebut mengalami kenaikan hingga dua kali lipat dibandingkan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV/2023 yang mencapai US$1,1 miliar atau 0,3% dari PDB.
"Jadi [penguatan kurs rupiah] bukan karena fundamental utama yang membaik," ujarnya.
Dengan demikian, Faisal tidak kaget apabila pemerintah malah memproyeksikan kurs rupiah Rp16.100 per dolar AS pada tahun depan. Menurutnya, pemerintah hanya sedang bersikap rasional.
"Jadi wajar kalau pemerintah sendiri sadar rupiah ini cenderung akan melemah karena current account-nya [neraca transaksi berjalan] defisit," katanya.
Lebih lanjut, Faisal mengaku tidak terlalu khawatir meskipun pemerintah terus menerbitkan obligasi global dengan timbal hasil yang tinggi meski kurs rupiah diproyeksikan melemah pada tahun depan.
"Karena obligasi global itu yang dimiliki asing makin lama makin kecil porsinya," ucapnya.
Dia menunjukkan, berdasarkan data Asian Development Bank (ADB), persentase kepemilikan asing atas obligasi pemerintah semakin mengecil: dari hampir 40% pada 2020 menjadi sekitar 15% pada 2023.