Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jorjoran Infrastruktur & Hilirisasi, Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi Stagnan di 5%

Meski getol membangun infrastruktur dan proyek hilirisasi, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi selama 10 tahun dinilai cenderung stagnan di 5%.
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama 10 tahun terakhir dinilai cenderung stagnan dengan pertumbuhan rata-rata hanya sebesar 5%.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyampaikan bahwa selama 10 tahun terakhir, tidak terjadi percepatan laju pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, bahkan cenderung melambat dibandingkan dengan periode kepemimpinan presiden sebelumnya.

Faisal menjelaskan, para periode kedua pemerintahan Jokowi, perekonomian Indonesia memang sempat anjlok karena faktor eksternal pandemi Covid-19.

Namun, di luar itu, pertumbuhan ekonomi hanya bergerak pada level sekitar 5%, bahkan setelah perekonomian pulih dari pandemi Covid-19.

“Tidak ada percepatan dibandingkan dengan masa sebelumnya. Bahkan, lebih lambat kalau dibandingkan dengan periode SBY [Susilo Bambang Yudhoyono]. Pada era SBY [pertumbuhan ekonomi] sempat pernah 6%, di era Jokowi di kisaran 5%,” katanya, dikutip Kamis (15/8/2024).

Faisal mengatakan, yang dominan didorong oleh pemerintah era Jokowi utamanya adalah pada pembangunan infrastruktur dan hilirisasi.

Terkait infrastruktur, imbuhnya, pemerintahan Jokowi melakukan banyak percepatan pembangunan yang seharusnya dapat menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi.

Menurutnya, pembangunan infrastruktur masih hanya dari sisi fisik, tetapi belum dilengkapi dengan perencanaan pembangunan ekonominya, baik di daerah maupun secara nasional, misalnya pada pembangunan jembatan, bandara, pos lintas batas negara

Padahal, pembangunan infrastruktur bisa memberikan dampak yang lebih besar pada perekonomian dalam jangka pendek jika dibarengi dengan perencanaan pengembangan pusat-pusat ekonomi di wilayah pembangunan tersebut.

“Sekarang mungkin belum dirasakan, di mana pertumbuhan ekonomi masih di sekitar 5%, tapi kita harapkan dampaknya akan lebih kelihatan lagi ke depan,” jelasnya.

Lebih lanjut, terkait hilirisasi, Faisal mengatakan, langkah pemerintah yang mendorong program tersebut pun seharusnya dapat mendorong industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.

Hal ini mengingat hilirisasi yang pada dasarnya mengolah bahan mentah sehingga memiliki nilai tambah lebih yang akan memberikan efek pada pertumbuhan ekonomi karena meningkatkan kinerja industri pengolahan, khususnya turunan dari komoditas SDA.

Dari sisi ekspor, kinerja ekspor sektor manufaktur juga mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode sebelum pandemi Covid-19, terutama pada komponen ekspor besi dan baja serta turunan tambang.

Namun sayangnya, upaya pemerintah itu dinilai belum cukup mendorong pertumbuhan ekonomi karena hilirisasi yang dilakukan masih pada tahap awal. Misalnya, bijih besi yang hanya baru diolah menjadi barang setengah jadi dan jadi, tetapi potensi nilai tambahnya belum dioptimalkan.

“Sebetulnya potensi nilai tambah itu lebih berlipat lagi jika didorong terus sampai ke yang lebih hilir lagi dan lebih punya nilai tambah tinggi. Terutama jika sampai kepada produk-produk yang teknologi tinggi seperti misalnya baterai listrik atau kendaraan listrik. Nah ini kan belum sampai di sana. Jadi artinya hilirisasinya masih pada tahap awal,” kata dia.

Selain itu, hilirisasi yang didorong pemerintah masih terbatas pada sektor tertentu, yang seharusnya dapat diperluas ke sektor di luar tambang, seperti pada turunan sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan, yang akan memberikan multiplier effect yang jauh lebih besar ke perekonomian.

Faisal menambahkan, produk hasil hilirisasi di dalam negeri sangat bergantung pada pasar China. Dia mencontohkan, 95% dari turunan nikel yang diproduksi dari smelter di Indonesia diekspor ke China.

Di sisi lain, perekonomian China mengalami perlambatan karena faktor domestiknya ataupun faktor yang lain sehingga turut memengaruhi permintaan dari dalam negeri.

Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan tumbuh maksimal 4%, jauh lebih rendah dari level pertumbuhan ekonomi yang pernah dicapai sebesar 10%.

“Ini memengaruhi juga demand terhadap produk-produk yang kita ekspor ke sana termasuk di antaranya adalah turunan daripada tambang hasil daripada hilirisasi. Ini kenapa hilirisasi belum terlalu signifikan efeknya untuk bisa mengeluarkan Indonesia dari jebakan deindustrialisasi dini,” jelas Faisal.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper