Bisnis.com, JAKARTA – Pengusaha tekstil menyorot minimnya perhatian Presiden Joko Widodo terhadap infrastruktur pelabuhan di Tanah Air selama 10 tahun terakhir.
Berbeda dengan darat, kondisi infrastruktur pelabuhan dinilai belum mampu mendukung aktivitas industri tekstil secara maksimal.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) melihat beberapa pekerjaan rumah yang belum rampung selama sedekade Presiden Jokowi memerintah.
Pertama, minimnya improvement fasilitas pelabuhan sehingga biaya operasional yang dikeluarkan pengusaha tekstil tidak kunjung turun. Kondisi ini dikatakan turut memengaruhi kegiatan ekspor industri.
“Pelabuhan belum banyak improvement. Jadi, biaya pelabuhan tidak naik dan tidak turun juga. Ekspor pun juga sebetulnya tidak banyak improve dari sisi pelabuhan karena pelabuhannya tutup juga pada hari-hari tertentu,” kata Redma kepada Bisnis baru-baru ini.
Kedua, infrastruktur pelabuhan belum optimal dalam mendukung proses impor secara maksimal. Infrastruktur yang dimaksud adalah perangkat scanner yang dikatakan hanya mampu mendeteksi 10% dari total impor tekstil ke Tanah Air.
Baca Juga
Dia menilai resons pemerintah terhadap kondisi tersebut di atas masih sangat minim dalam kurun 10 tahun Jokowi memerintah.
Dia membandingkan kondisi pelabuhan di Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, dan Singapura yang dikatakan jauh lebih baik. Baik Malaysia, Vietnam, maupun Singapura, seluruh barang impor yang masuk melewati proses scanning berteknologi AI.
“Jadi, kalau begitu kontainer itu mau masuk ke wilayah pabeannya, pasti masuk scanner dulu. Nah, kalau Malaysia dan Vietnam saja mampu, pasti buat kita investasi scanner ini tidak mahal,” kata Redma menjelaskan.
Kendati kegiatan di pelabuhan seperti dijelaskan di atas identik dengan industri tekstil sektor hilir, kata Redma, tapi pengaruhnya terhadap kinerja di hulu cukup signifikan.
Sebab, ketika domestik terganggu akibat masifnya barang impor, maka tingkat utilisasi sektor hulu berisiko terus berkurang.
Dalam 10 tahun terakhir, ujar Redma, utilisasi di sektor hulu terus merosot sampai dengan saat ini hanya berada di level 45%. Adapun, investasi yang masuk tidak signifikan menyusul adanya shortage bahan baku rayon sebanyak 200.000 ton per tahun atau sekitar 25%.