Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mempertanyakan perbedaan data impor Indonesia dari China dan data ekspor dari China ke Indonesia.
Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengungkapkan bahwa nilai sejumlah komoditas yang masuk ke Indonesia justru lebih sedikit dari data yang dicatat oleh China.
Dia mencontohkan HS Code 6109 untuk t-shirt, singlet dan kaos kutang lainnya, rajutan atau kaitan. Merujuk data China, ujarnya, nilai yang tercatat ke Indonesia sebesar US$39,5 juta atau setara Rp630 miliar di 2023. Namun, data yang masuk ke Indonesia hanya mencapai sekitar US$19,9 juta atau setara Rp317 miliar.
“Nah ini sisanya kemana, apa nyemplung di laut, hilang di jalan, atau masuk lewat mana, ini yang perlu menjadi pertanyaan, kok jauh banget selisihnya 2x lipat lebih,” kata Heri dalam Diskusi Publik Indef, Kamis (8/8/2024).
Tak hanya HS6109, perbedaan data juga terlihat pada HS Code lainnya. Misalnya, HS6108 untuk pakaian dalam wanita atau anak perempuan, rok dalam, celana dalam, celana dalam wanita, gaun tidur, piyama, daster, jubah mandi, gaun tidur dan sejenisnya. Data Trademap.org mencatat adanya perbedaan nilai impor, atau hampir tiga kali lipat di 2023.
Secara terperinci, China mencatat nilai HS Code 6108 yang keluar ke Indonesia mencapai US$51,1 juta, sedangkan yang masuk ke Indonesia hanya sekitar US$14,6 juta.
Baca Juga
Lalu, HS 6104 untuk setelan, ansambel, jaket, blazer, gaun, rok, rok terbagi, celana panjang, overall bib dan brace, celana pendek untuk wanita atau anak perempuan, nilai yang tercatat keluar dari China sebesar US$40,9 juta sedangkan data yang masuk ke Indonesia tercatat hanya US$7,2 juta. Itu artinya, ada perbedaan nilai hingga enam kali lipat.
“Ini indikasi adanya impor ilegal, namun tentu pintu masuknya lewat mana kok yang dicatat segini, yang tercatat resmi hanya separuhnya? Apakah hilang di jalan atau nyemplung di laut nggak tahu,” ujarnya.
Tidak hanya dengan China, perbedaan data juga terjadi dengan sejumlah negara seperti Malaysia dan Thailand. Kendati begitu, Heri tidak memaparkan perbedaan data antara Indonesia dengan kedua negara tersebut,
“Ini kan sangat mentereng menurut saya selisihnya kok sangat besar, ini tentu jadi pertanyaan besar,” ungkapnya.