Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyebut bahwa pemanfaatan teknologi pada sektor pertanian hingga saat ini belum masif dilakukan di Tanah Air.
Perencana Ahli Madya di Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas, Zulfriandi, menyebut, terdapat sejumlah tantangan dalam menerapkan teknologi di sektor pertanian di antaranya, keterbatasan lahan, pembiayaan, dan sumber daya manusia (SDM) yang akan mengoperasikan teknologi tersebut.
“Menyangkut lahan, petani di sini itu rata-rata punya lahan yang terbatas, mungkin 0,3 hektare atau 0,5 hektare untuk petani,” kata Zul dalam diskusi pameran teknologi pangan dan pertanian AFTEA 2024, Kamis (8/8/2024).
Mengenai hal tersebut, Zul menilai perlu ada konsolidasi lahan. Dalam hal ini, pemerintah melihat perlunya pembentukan korporasi di tingkat petani, baik dalam bentuk koperasi maupun Perseroan Terbatas (PT) dengan pemilik mayoritas adalah petani.
Dengan adanya koperasi, menurutnya potensi untuk konsolidasi lahan akan sangat mungkin terjadi sehingga pemanfaatan agrotech ke depannya akan lebih cepat dilakukan.
Selain lahan yang terbatas, permodalan atau biaya untuk agrotech juga menjadi kendala. Zul mengakui, biaya yang dibutuhkan untuk menerapkan teknologi di sektor ini cukup mahal sehingga memerlukan semacam lembaga pembiayaan yang dapat dikolaborasikan dengan korporasi petani.
Baca Juga
“Memang cukup mahal teknologinya,” ungkapnya.
Tantangan lainnya yakni kapabilitas SDM yang akan mengelola teknologi tersebut. Apalagi saat ini tidak banyak yang bekerja di bidang pertanian meski banyak sekali perguruan tinggi negeri (PTN) yang memiliki fakultas pertanian. Hal ini lantas menjadi perhatian pemerintah.
“Mungkin politeknik lebih dibutuhkan saat ini yang mana nanti mereka lulus bisa langsung jadi job seeker atau job creator,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Sistem dan Teknologi Tanpa Awak (ASTTA) Indra Permana sepakat dengan tantangan-tantangan tersebut.
Kendati begitu, dia menilai bahwa kurang efektif jika para petani diminta untuk membentuk suatu korporasi. Alih-alih mendorong para petani untuk membentuk korporasi, Indra menyarankan agar teknologi tersebut diberikan kepada, misalnya, penjual pupuk di daerah pelosok.
“Kita kasih dronenya ke penjual pupuk di pelosok itu. Petani, ketika dia butuh pupuk, dia sekaligus minta jasa penyemprotannya ke penjual pupuknya. Penjual pupuknya ini nyemprot dengan drone. Jadi petani itu cukup tahu bahwa lahanya sudah di semprot dan mereka itu urunan satu kelompok,” tuturnya.
Menurutnya, cara ini lebih menguntungkan. Berdasarkan penelitiannya, Indra menuturkan bahwa di lahan 12 hektare yang disiram menggunakan drone, hasil panennya meningkat 7% dan penggunaan pestisidanya menurun sebesar 30%.
“Kenapa? Karena ketika kita nyemprot dengan drone, itu penyemprotannya lebih merata, pasti, dan nyemprotnya lebih efektif, penggunaannya lebih berkeseluruhan,” pungkasnya.