Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bukan Resesi AS, Ini Biang Kerok Utama Amblesnya Pasar Saham Global

Pelemahan pada pasar saham global dalam beberapa hari terakhir lebih disebabkan oleh penurunan carry trade ketimbang kekhawatiran terhadap resesi ekonomi AS.
Informasi pasar saham di Nasdaq MarketSite di New York, AS, Senin, 5 Agustus 2024. Aksi jual pasar global semakin dalam karena kekhawatiran terhadap resesi ekonomi AS semakin meningkat./Bloomberg-Michael Nagle
Informasi pasar saham di Nasdaq MarketSite di New York, AS, Senin, 5 Agustus 2024. Aksi jual pasar global semakin dalam karena kekhawatiran terhadap resesi ekonomi AS semakin meningkat./Bloomberg-Michael Nagle

Bisnis.com, JAKARTA - Pelemahan pada pasar saham global dalam beberapa hari terakhir lebih disebabkan oleh aksi carry trade yang digunakan investor ketimbang kekhawatiran pasar terhadap risiko resesi ekonomi AS.

Melansir Reuters pada Selasa (6/8/2024), para analis pasar menyebut rilis data ketenagakerjaan AS yang lebih rendah dari perkiraan belum cukup untuk menjadi katalis utama dari aksi jual besar-besaran tersebut. 

Adapun, indeks blue-chip Nikkei Jepang pada Senin mengalami penurunan harian terbesarnya sejak aksi jual Black Monday pada 1987 lalu.

Penyebab pelemahan tersebut kemungkinan terletak pada penurunan tajam carry trade, di mana investor meminjam uang dari negara dengan suku bunga rendah seperti Jepang atau Swiss, untuk mendanai investasi pada aset dengan imbal hasil lebih tinggi di negara lain.

Para analis menilai investor terjebak karena yen Jepang telah menguat lebih dari 11% terhadap dolar AS dari posisi terendah dalam 38 tahun yang dicapai sebulan lalu.

Chief Investment Officer BlueBay Asset Management Mark Dowdling menyebut aksi jual yang terjadi disebabkan oleh sejumlah dana makro telah terjebak dalam perdagangan yang salah. Hal ini memicu langkah pemberhentian, yang awalnya dimulai dengan pasar valas dan yen Jepang.

"Kami tidak melihat bukti dalam data yang menunjukkan bahwa kita sedang melihat hard landing,” kata Dowdling dikutip dari Reuters, Selasa (6/8/2024).

Salah satu investor yang berbasis di Asia, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan beberapa lembaga dana lindung nilai (hedge fund) yang memperdagangkan saham berdasarkan sinyal dari algoritma, mulai menjual saham ketika kenaikan suku bunga Bank of Japan (BOJ) yang mengejutkan pada pekan lalu memicu ekspektasi akan kenaikan suku bunga.

Meski angka pasti dan pergeseran posisi spesifik yang mendasari pergerakan ini sulit didapat, para analis menduga bahwa ramainya posisi saham-saham teknologi AS, yang didanai oleh carry trade, menjelaskan mengapa saham-saham tersebut paling menderita.

Sepanjang Agustus 2024, indeks Nasdaq yang banyak dihuni perusahaan teknologi terpantau telah turun lebih dari 8%. Sementara itu, Indeks S&P yang lebih umum tercatat melemah sekitar 6% pada periode yang sama.

Carry trade yang didukung oleh longgarnya kebijakan moneter Jepang selama bertahun-tahun, mendorong lonjakan pinjaman yen lintas batas untuk mendanai perdagangan di negara lain, kata ING.

Data Bank for International Settlements menunjukkan pinjaman yen lintas negara telah meningkat sebesar US$742 miliar sejak akhir tahun 2021.

Head of Macro Strategy for Europe di State Street Global Markets Tim Graf menyebut, ini merupakan penurunan yang disebabkan oleh yen dan penurunan saham Jepang. 

"Metrik posisi kami menunjukkan investor melebih-lebihkan saham-saham Jepang. Saham-saham tersebut terlalu rendah dalam yen. Kini saham tersebut tidak lagi terlalu rendah dalam yen," kata Graf.

Adapun, data dari regulator pasar saham AS menunjukkan spekulan juga telah mengurangi posisi bearish-nya terhadap yen secara agresif dalam beberapa minggu terakhir. Hal ini menjadikan posisi net short yen menjadi US$6,01 miliar, atau terkecil sejak Januari.

Selain itu, posisi tersebut juga turun dari nilai tertinggi dalam tujuh tahun pada April lalu sebesar US$14,526 miliar.

“Anda tidak dapat menghentikan carry trade terbesar yang pernah ada di dunia tanpa membuat beberapa masalah,” kata Chief Currency Strategist Societe Generale, Kit Juckes.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper