Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produsen Mesin Manufaktur Resah Pasokan Bahan Baku Seret Imbas Lartas Impor

Produsen mesin pertanian, mesin perkakas, hingga mesin pengecor logam kesulitan mendapatkan bahan baku akibat aturan larangan dan pembatasan (lartas) impor
Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (22/6/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (22/6/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma) mulai mengeluhkan inkonsistensi regulasi impor yang berdampak pada keterbatasan bahan baku untuk perakitan mesin dalam negeri. 

Chairman of Gamma Dadang Asikin mengatakan, dampak tersebut mulai dirasakan oleh produsen mesin pertanian (Alsintani), mesin perkakas (Asimpi), hingga mesin pengecor logam (Aplindo). 

"Beberapa mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku baja maupun bahan dasar untuk produk pengecoran dan bahan setengah jadi untuk memproduksi mesin atau spare part yang dibutuhkan untuk mendukung industri manufaktur," kata Dadang kepada Bisnis, dikutip Senin (5/8/2024). 

Dalam hal ini, dia menyoroti aturan impor terbaru dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 yang justru mempermudah importasi produk jadi yang mampu di produksi dalam negeri, sementara impor bahan baku justru terhambat. 

Dadang menuturkan, relaksasi mestinya diterapkan untuk mendapatkan bahan baku yang tidak bisa atau belum di produksi dalam negeri. Kesulitan bahan baku justru memukul daya saing produk, ditambah bea masuk yang menjadi beban pelaku usaha. 

"Sering terjadi justru pada pembatasan kuota bahan baku dan bahan setengah jadi yang seharusnya bisa menaikkan daya saing dan kapasitas produk-produk peralatan dan permesinan yang dihasilkan," ujarnya. 

Sementara itu, permintaan dari industri yang membutuhkan dukungan peralatan dan permesinan terus meningkat. Namun, aturan tersebut justru mempermudah masuk impor mesin ketimbang memberdayakan mesin lokal. 

Menurut dia, dalam kondisi kontraksi manufaktur yang tercerminkan dari Purchasing Manager Index (PMI) di level 49,3 pada Juli 2024 menandakan sinyal rontoknya industri akibat regulasi tersebut. 

Maka, dia menilai pemerintah perlu mengatur ulang kebijakan pembatasan impor dan mengupayakan pengawasan lewat optimalisasi penerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam pengadaan barang yang diserap melalui APBN dan proyek BUMN. 

"Penurunan angka PMI tersebut harus disikapi oleh pemerintah dalam bentuk policy yang terencana lebih baik dalam jangka panjang bukan sebagai reaksi jangka pendek yang terkesan seperti pemadam kebakaran," tuturnya. 

Kondisi ini juga disebutnya menjadi tantangan untuk pemerintahan presiden terpilih mendatang. Pemerintah perlu memperkuat sinkronisasi peraturan dengan melibatkan pelaku usaha dan stakeholder terkait untuk mendapatkan masukan lebih komprehensif sehingga menghasilkan kebijakan bersifat holistik. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper