Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, perdagangan karbon atau carbon trading di sektor pembangkit listrik dapat menurunkan emisi gas rumah kaca lebih dari 100 juta ton ekuivalen pada 2030.
“Berdasarkan peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik yang telah kami susun, dengan adanya perdagangan karbon ini maka berpotensi dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar lebih dari 100 juta ton ekuivalen di tahun 2030,” kata Sekretaris Jendral (Sekjen) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam webinar Perdagangan dan Bursa Karbon Indonesia 2024, Selasa (23/7/2024).
Dadan menyampaikan, perdagangan karbon pada sektor pembangkit listrik akan digelar dalam tiga fase. Fase pertama berlangsung pada 2023–2024, fase kedua pada 2025–2027, serta fase ketiga pada 2028–2030.
Dari ketiga fase tersebut, kata Dadan, pihaknya akan melakukan peningkatan standar emisi karbon dioksida untuk pembangkit listrik, terutama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batu bara.
Dirinya pun menuturkan, nantinya perdagangan karbon ini akan diterapkan secara bertahap ke seluruh pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil.
“Baik yang terhubung kepada jaringan PLN, maupun untuk penggunaan sendiri, seperti pembangkit untuk kepentingan sendiri dan juga pembangkit di wilayah usaha non-PLN,” ucapnya.
Baca Juga
Adapun, perdagangan karbon diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 telah mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan tata cara teknisnya.
Lalu, terdapat aturan pelaksanaan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang mengatur hal tersebut. Kemudian, tata cara perdagangan karbon juga telah diatur dalam Perpres No. 98/2021, baik untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.
Untuk diketahui, perdagangan karbon melalui bursa karbon juga diatur melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.
Dalam beleid tersebut menjelaskan bahwa yang dijual di bursa karbon adalah kredit atas pengeluaran gas karbon dioksida (CO2) atau gas rumah kaca yang merupakan batas jumlah gas rumah kaca yang dimiliki perusahaan-perusahaan.
Alhasil, dengan aturan kredit tersebut mengharuskan agar setiap perusahaan dapat mengeluarkan kadar karbon dalam batas tertentu dalam proses industri.