Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Rio Christiawan

Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetya Mulya

Dia meraih gelar doktoral ilmu hukum di Universitas Katolik Parahyangan

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: IPO Sektor Perdagangan Karbon Nasional

Penguatan pada aspek fundamental ini juga turut dipengaruhi oleh hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2024.
PLTU Wujing di Shanghai, China pada Rabu (24/1/2024). - Bloomberg/Raul Ariano
PLTU Wujing di Shanghai, China pada Rabu (24/1/2024). - Bloomberg/Raul Ariano

Bisnis.com, JAKARTA - Sektor perdagangan karbon mengalami kemajuan yang pesat pada beberapa tahun terakhir.

Diawali dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional, dan selanjutnya diikuti dengan beberapa aturan di tingkat peraturan menteri dan puncaknya terbitnya POJK No. 14/2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon.

Dengan terbitnya serangkaian peraturan tersebut maka memastikan optimisme investor bahwa upaya penu-runan emisi gas rumah kaca (GRK) sekaligus merupakan potensi ekonomi yang besar bagi Indonesia, mengingat Indonesia memiliki salah satu sumber terbesar di sek-tor hulu pada industri ini.

Demikian juga telah adanya aturan yang solid mengenai mekanisme perdagangan sertifikat penurunan gas rumah kaca (SPE-GRK) yang sering disebut sebagai perdagangan karbon.

Dalam perspektif pasar modal, terbitnya mekanisme registrasi melalui sistem registrasi nasional (SRN) dan mekanisme otorisasi perdagangan unit karbon dalam mekanisme perdagangan ser-tifikat penurunan gas rumah kaca (SPE-GRK) telah menguatkan aspek fundamental dari perdagangan karbon sebagai sebuah industri, baik pada aspek hulu maupun aspek hilir.

Penguatan pada aspek fundamental ini juga turut dipengaruhi oleh hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2024.

Dukungan pemerintah pada industri ini, misalnya, pada saat reshuffle terakhir di 2024 Presiden Joko Widodo juga menyebut untuk mem-beri prioritas pada sektor perdagangan karbon. Demikian juga dengan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 yang tampaknya berpihak pada industri perdagangan karbon dan penghilirannya.

Optimisme aspek fundamental pada industri ini juga terlihat dari penguatan regulasi di sektor hilir misalnya dengan ter-bitnya Perpres No. 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.

Dengan potensi Indonesia untuk menghasilkan kinerja penurunan GRK yang tentunya masih akan sangat surplus jika dikurangi komit-men Indonesia pada COP maka nampak jelas potensi ekonomi yang besar dan dengan banyaknya negara yang terlibat dan meratifikasi COP maka pasar industri perdagangan karbon semakin terbuka luas.

Dengan potensi tingginya perdagangan unit karbon pada sertifikat penurunan gas rumah kaca menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu leading sector pada Industri ini. Demikian pula dengan besarnya pasar yang akan menjadi pembeli dari unit SPE GRK yang dimiliki oleh perusahaan yang mengelola sektor perdagangan karbon di Indonesia.

Banyaknya negara yang terlibat dan meratifikasi COP menunjukkan potensi ‘demand’ sehingga pada ana-lisis permintaan dan pena-waran maka industri ini akan mengalami tren positif teruta-ma menjelang 2029. Bagi negara industrialis hanya memiliki dua pilihan yakni melakukan transisi energi untuk menekan gas rumah kaca yang dihasilkan atau melakukan pembelian karbon untuk melakukan car-bon offset dari kelebihan gas rumah kaca yang dihasilkan.

Artinya, dalam konteks pembentukan harga unit karbon maka setidaknya dalam 4 tahun yang akan datang tren harga karbon global diperki-rakan mengalami kenaikan.

Logika kenaikan harga kar-bon itu adalah belum siapnya secara total sektor industri untuk menerapkan transisi energi dan adanya keterdesakan banyak negara peserta COP guna memenuhi komitmen putaran pertama pemenuhan hasil penurunan gas rumah kaca pada 2029.

Akhir 2024 hingga awal 2026 merupakan momentum yang tepat bagi calon emiten yang bergerak di bidang perdagangan karbon masuk bursa. Pertimbangannya adalah stabilitas politik dan regulasi baru setelah Oktober 2024 untuk melihat apakah ada faktor yang dapat men-jadi sentimen negatif pada valuasi harga saham emiten.

Pada 2025 hingga 2026 dipandang menjadi tahun yang krusial karena diperki-rakan pada COP Tahun 2024 dan COP Tahun 2025 akan terdapat isu global mengenai perdagangan karbon disam-ping kondisi transisi energi setiap sektor pada masing-masing negara peserta COP akan terlihat hasil dan kebutuhannya terhadap offset penurunan gas rumah kaca sehingga arus transaksi per-dagangan saham dan perdagangan karbon akan meningkat karena telah terbentuk pasar yang sempurna.

Kinerja bursa saham pada indeks harga saham hijau cenderung membaik, hal ini terlihat dari ‘green’ emiten terakhir yang melakukan penawaran umum perda-na (IPO) yaitu PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia pada Oktober 2023.

BREN adalah emiten yang berfokus pada kinerja clean energi dan penurunan emisi gas rumah kaca yang mengalami oversubscription pada IPO. Jika melihat tren IPO BREN maka secara khusus dapat dikatakan bahwa akhir 2024 hingga awal 2026 merupakan momentum yang tepat bagi emiten perdagangan karbon untuk melakukan IPO, baik melalui papan utama maupun papan pengembangan.

Harga saham pada IPO pada sektor industri dengan kinerja perdagangan karbon akan sangat tergantung pada kontrak jangka panjang yang telah dibuat oleh emiten sek-tor perdagangan karbon yang akan melakukan IPO.

Kontrak jangka panjang perdagangan unit karbon merupakan faktor yang signi-fikan karena akan menunjuk-kan sisa volume unit karbon yang dimiliki oleh emiten itu dalam jangka panjang sehingga dapat diperkirakan aset dan arus kas emiten itu.

Pada industri sektor perda-gangan karbon yang disebut sebagai aset utama adalah volume unit karbon yang dapat diperdagangkan oleh emiten yang akan melakukan penawaran umum perdana beserta pembeli unit karbon yang telah terikat kontrak jangka panjang maupun jangka pendek pembeli jang-ka pendek dengan transaksi spot.

Artinya, kinerja dan arus kas emiten akan sangat positif, jika terdapat volume unit karbon yang tinggi dan tersedia cukup pembeli.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper