Bisnis.com, JAKARTA - Sektor manufaktur China tumbuh lebih cepat daripada ekonomi keseluruhan selama tiga kuartal berturut-turut, menggarisbawahi industri dan ekspor mendorong pertumbuhan di ekonomi China.
Berdasarkan data terperinci Produk Domestik Bruto (PDB) yang dirilis Selasa (16/7/2024) sektor manufaktur tumbuh 6,2% pada kuartal terakhir. Angka ini lebih cepat dari pertumbuhan riil keseluruhan 4,7%.
Angka tersebut kemudian mempertahankan kontribusi sektor tersebut terhadap ekonomi China sebesar 27%, menyamai level tertinggi satu tahun pada kuartal sebelumnya. Kekuatan ini kontras dengan sektor real estat yang menyusut, yang mengalami kontraksi selama lima kuartal berturut-turut.
China dalam beberapa tahun terakhir menekankan investasi dalam manufaktur berteknologi tinggi untuk mendorong pertumbuhan, terutama setelah mengurangi risiko keuangan dalam perekonomian, dengan memecahkan masalah krisis perumahan.
Dorongan investasi tersebut telah membantu meningkatkan produksi dan ekspor barang-barang seperti mobil listrik, baterai, dan semikonduktor, tetapi belum berhasil meningkatkan konsumsi dalam negeri.
Adapun, hal tersebut juga mencerminkan bahwa perusahaan lebih bergantung pada permintaan luar negeri dari sebelumnya.
Baca Juga
Berdasarkan data pada Senin (15/7/2024) pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan telah melambat lebih dari yang diharapkan pada kuartal II/2024, dengan kinerja terburuk untuk penjualan ritel sejak 2022 yang melemahkan aktivitas.
Biro Statistik Nasional menuturkan bahwa perlambatan pertumbuhan pada kuartal II/2024 disebabkan oleh faktor jangka pendek seperti cuaca ekstrem, hujan lebat, dan banjir.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan dukungan kebijakan yang lebih besar untuk mencapai target pertumbuhan tahunan sekitar 5% setelah data kuartal kedua yang mengecewakan,” jelas ekonom di Credit Agricole CIB di Hong Kong, Xiaojia Zhi, seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (16/7/2024).
Namun, permintaan luar negeri masih menjadi titik terang. Ekspor kuartal II/2024 naik ke level tertinggi dalam hampir dua tahun dengan perusahaan-perusahaan China mengirim barang senilai US$902 miliar, atau sekitar Rp14.612 triliun.