Bisnis.com, JAKARTA- Polemik industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tak hanya banjir impor legal dan ilegal saja. Nyatanya, industri dibayangi beragam praktik tak lazim, seperti jual beli izin impor tekstil yang dilakukan terang-terangan.
Salah satu fakta yang tersingkap adalah penawaran terang-terangan izin impor tekstil oleh PT Marcopolo Mitra Abadi. Perusahaan tersebut mengirimkan surel kepada sejumlah produsen tekstil.
Sebaliknya, Marcopolo Mitra Abadi merupakan perusahaan logistik. Mereka malah menawarkan jasa sewa undername ekspor-impor dan freight forwarder.
Tak hanya itu, perusahaan tersebut yang juga memiliki layanan jasa impor, termasuk Perizinan Impor (PI) sejumlah komoditas seperti besi baja, kehutanan, tekstil, garmen, alas kaki, hingga mesin/barang bekas.
Merespon hal tersebut, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat, Benang, Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan kasus yang paling sering ditemukan yaitu oknum yang memperjualbelikan izin impor atau disebut sebagai importir bodong.
"Kalau yang bodong itu dia pakai PI [Perizinan Impor], tapi PI nya itu hasil beli PI di orang. Kan banyak tuh kalau suka lihat di online ada yang dari logistik mereka menawarkan PI," kata Redma kepada Bisnis, dikutip Kamis (4/7/2024).
Baca Juga
Redma menyebut jual beli PI biasanya dilakukan oleh pihak importir umum yang mendapatkan kuota impor lebih banyak dari kebutuhannya. Sebelum proses verifikasi diterapkan, importir umum dapat dengan mudah mengajukan dan mendapat PI diluar kapasitas.
Dia mencontohkan, jual beli PI seringkali ditemukan melalui media sosial, e-commerce, hingga email ke sejumlah perusahaan produsen yang ditawarkan oleh perusahaan logistik.
APSyFI juga menunjukkan surat penawaran kerja sama ekspor impor dari PT Han Putra Trasindo yang juga merupakan perusahaan pengiriman barang. Salah satu tawaran yang diberikan terkait kuota PI sejumlah barang mencakup tekstil, garmen, alas kaki, rantai mmotor, hingga pangan.
Bahkan, perusahaan ini mengklaim dapat membantuk mengeluarkan barang-barang yang tertahan di bandara maupun pelabuhan. Hal ini pun menjurus pada kecurigaan produsen lokal terkait mafia impor di lapangan pekerjaan Bea Cukai.
"Kalau sekarang agak susah, dulu sih kayak apalagi API-U ya, umum gitu ya. Itu langsung diizinin aja. Karena kan nggak ada verifikasi," tuturnya.
Importir produsen tidak bisa mendapatkan kuota lebih lantaran disesuaikan dengan kapasitas terpasang pada fasilitas produksi. Apabila kebutuhan produksi hanya 500 maka hanya akan diberikan dengan jumlah sama.
Taktik ini banyak digunakan untuk industri tekstil hulu atau bahan baku tekstil seperti serat hingga benang. Namun, Redma memastikan saat ini seluruh bahan baku tekstil mampu dipasok dalam negeri, kendati serapan dari hilir masih rendah karena banjir impor.
"Tapi kalau API-U kan yaudah dikasih 3.000. Sisanya dia jual lagi. Padahal kan nggak boleh berjual-belikan," jelasnya.
Praktik bodong disebut dapat merajalela dengan adanya relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag 8/2024). Dia pun mendorong pemerintah untuk lebih ketat mengawasi arus importasi.
Aturan yang mempermudah impor disebutnya semakin memperluas jalan masuk produk tekstil asal China. Bahkan, saat ini Redma melihat fenomena pedagang China yang berdatangan dan menjual langsung produk nya di pasar tradisional.
Apabila hilir tak ada pengamanan, Redma mengkhawatirkan kondisi industri yang semakin melemah dan membuat Indonesia hanya menjadi pusat perdagangan saja.
"China itu setelah gelar pameran di sini, bos nya minta anak buah untuk menetap di sini. Kalau dilihat sekarang di Mangga Dua, ada aja pedagang China yang baru masuk," tuturnya.
Lebih lanjut, Redma menyebut belakangan pedagang pasar tradisional mendesak pemerintah, dalam hal ini, Direktorat Jenderal Imigrasi untuk memeriksa izin tinggal para pedagang China.