Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pabrik Tekstil Tutup Makin Marak, Pengusaha Minta Permendag 8/2024 Dicabut

PHK dan penutupan pabrik tekstil disebut makin marak usai Permendag No.8/2024 terbit.
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman.
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman.

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) meminta pemerintah untuk mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.8/2024 dan kembali menjalankan kebijakan dan pengaturan impor yang diatur dalam Permendag No.36/2023.

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta menyampaikan, kian maraknya penutupan pabrik di sejumlah daerah yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal ini salah satunya disebabkan oleh pengaturan impor yang diatur dalam Permendag No.8/2024.

“Memang posisinya setelah Permendag 8 ini terbit, dalam 2 bulan terakhir ini kan PHK dan penutupan pabrik makin marak,” ungkap Redma kepada Bisnis, Rabu (3/7/2024).

Menurutnya, meski hal tersebut tak sepenuhnya disebabkan oleh Permendag No.8/2024 lantaran PHK sudah terjadi sejak akhir 2022 dan sepanjang 2023, kehadiran regulasi ini mempercepat terjadinya penutupan pabrik pada 2024.

Redma menuturkan, sejak PHK marak terjadi pada 2022 dan berlanjut hingga 2023, pemerintah tidak melakukan langkah apapun untuk mencegah adanya PHK. 

Pemerintah, kata dia, baru mengambil tindakan pada Oktober 2023 usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan kementerian terkait untuk mengendalikan impor.

Sebagai tindak lanjut dari arahan tersebut, pada Desember 2023, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan Permendag No.36/2023 dan berlaku mulai 2024. Baru berjalan 2 bulan, pemerintah kemudian merelaksasi impor melalui Permendag No.8/2024.

“Ini kembali terlihat pemerintah lebih pro pada importir dibanding produsen dalam negeri, jadi secara tidak langsung Permendag 8 ini dapat dikatakan sebagai penyebab PHK dan penutupan pabrik,” jelasnya. 

Dia mengungkapkan, insentif yang ada saat ini tidak cukup efektif untuk menopang kinerja pabrikan. Kecuali, pemerintah mau menanggung perbedaan harga produk lokal dengan produk impor.

“Jadi kami bisa jual dengan harga yang sama dengan barang impor, tapi selisihnya pemerintah yang bayarin sebagai insentif,” usulnya.

Selain itu, pihaknya mengharapkan agar pemerintah dapat memberikan insentif harga gas US$4/MMbtu atau sama dengan harga gas di China. Namun, dia tidak yakin pemerintah memiliki budget untuk memberikan insentif kepada para pelaku usaha.

Pun pemerintah tidak memiliki dana untuk memberikan insentif kepada pelaku usaha, Redma menilai bahwa cara termudah untuk mendukung industri dalam negeri adalah dengan melindungi pasar dari produk impor dumping. 

“Dan yang lebih penting adalah penanggulangan impor ilegal dengan cara membersihkan Bea Cukai dari mafia impor,” tegasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper