Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan menilai manuver campuran gas pipa dengan LNG untuk industri belakangan sebagai keputusan yang absurd.
Lewat kebijakan blended atau campuran gas dengan LNG itu, industri domestik menerima gas dari PT Perusahaan Gas Negara (PGAS) atau PGN dengan harga sampai dua kali lipat lebih tinggi dari harga gas bumi tertentu (HGBT) yang awalnya dipatok di level US$6 per juta metrik british thermal unit (MMBtu).
Saat ini, industri domestik belakangan diketahui menerima tarif bervariasi dari rentang US$6,5 per MMBtu sampai dengan US$13,5 per MMBtu. Adapun, sebagian besar industri di Jawa Barat menerima tarif dengan rentang yang disebut belakangan.
“Absurd, industri tersandera gunakan gas bumi melalui pipa, sementara itu, gas berlimpah dari Sumatra diekspor melalui pipa,” kata Yustinus saat dihubungi, Senin (1/7/2024).
Menurut Yustinus, sekitar 40% LNG hasil regasifikasi saat ini diarahkan untuk industri domestik. Situasi itu membuat ongkos produksi makin tinggi.
“Konsekuensinya biaya produksi naik signifikan, daya saing turun signifikan,” tuturnya.
Baca Juga
Sebelumnya, PGN mendapat tambahan 1 kargo LNG setara 2,6 MMBtu dari Kilang Tangguh, Teluk Bintuni, Papua Barat untuk kontrak 5 tahun.
“Ini adalah milestone penting bagi kami. LNG merupakan salah satu upaya terbaik yang kami berikan bersama pemerintah serta pemasok untuk menjawab tantangan kebutuhan gas bumi domestik,” kata Direktur Komersial PGN Ratih Esti Prihatini lewat siaran pers, Senin (1/7/2024).
Sampai dengan triwulan I/2024, volume niaga gas bumi telah mencapai 858 BBtud. Upaya meningkatkan volume penjualan di berbagai wilayah terus dilakukan, baik di wilayah yang tersedia jaringan maupun penetrasi infrastruktur wilayah baru.
Sejauh ini PGN masih menjaga target volume niaga tahun 2024 sebesar 954 BBtud.
Sementara, penyerapan LNG di wilayah Jawa Barat saat ini telah mencapai 45 billion british thermal unit per day (BBtud) per Mei 2024.
“Angka ini lebih tinggi dari perkiraan awal kami,” kata Ratih.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi Suryodipuro menuturkan, tambahan kargo LNG itu belakangan diperlukan untuk menambal pasokan defisit gas pipa dari beberapa lapangan di kawasan Sumatra bagian tengah, Sumatra Selatan, dan Jawa bagian barat.
Beberapa lapangan yang mengalami penurunan salur gas itu di antaranya, Blok Corridor, PEP Sumatra Selatan (Regional 1), PEP Jawa Barat (Regional 2), PHE Jambi Merang dan sejumlah kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di kawasan tersebut.
Hudi menuturkan, saat ini perusahaan gas negara itu tengah melakukan sosialiasai atau penjajakan kepada industri pengguna terkait dengan opsi pengalihan sumber gas dari pipa menjadi LNG.
“Di mana harga yang akan dibayarkan oleh end user akan meningkat seiring dengan harga LNG memiliki biaya tambahan di antaranya biaya kapal, regasifikasi dan transportasi lainnya jika diperlukan,” kata dia.
Perusahaan gas negara itu memproyeksikan kebutuhan permintaan gas bumi di Sumatra Tengah, Sumatra Selatan, dan Jawa bagian barat untuk 2024-2034 memerlukan penambahan pasokan gas hasil regasifikasi LNG sebesar 73 BBtud sampai dengan 355 BBtud.
Estimasi itu mengambil porsi 12% sampai dengan 54% dari keseluruhan pasokan gas untuk permintaan pelanggan PGN di tiga kawasan tersebut.