Bisnis.com, JAKARTA – Banjirnya produk impor dalam industri TPT (tekstil dan produk tekstil) membuat tekanan pada bisnis sehingga berujung pada maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai PHK pada industri TPT dipengaruhi oleh suplai barang impor dari China sehingga berdampak pada permintaan produk TPT dalam negeri.
Hal itu, lanjutnya, membuat produk TPT dalam negeri kalah bersaing terutama dari sisi harga. “Belum lagi ditambah produk dari Thailand yang sudah mulai masuk ke pasar-pasar tradisional. Jadi ini sangat bisa mengulang sejarah runtuhnya batik Indonesia pada 1990-an akibat batik print dari China. Produk TPT kita bisa terkapar karena produk impor ini,” ujar Nailul Huda dalam keterangannya, Selasa (25/6/2024).
Dia menambahkan peraturan anyar yang merelaksasi aturan impor ikut menyebabkan barang impor masuk dengan gampang. Imbasnya produsen dalam negeri harus bersaing secara harga dengan produk impor tersebut.
Adapun beleid yang dia maksud adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 tahun 2024 yang merupakan perubahan ketiga atas Permendag 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
“Harga yang terbentuk di dalam negeri juga ada biaya non produksi yang cukup banyak seperti izin dan pungutan liar. Jadi sudah ditekan biaya tinggi dari dalam negeri, harus bersaing dengan produk murah China lagi,” tambahnya.
Baca Juga
Sebagai informasi, sejak awal 2024 ada 6 perusahaan tekstil di Jawa Tengah melakukan PHK. Total sebanyak 13.800 pekerja yang terdampak dan jumlah ini diyakini bisa lebih tinggi karena ada pekerja yang tidak melapor saat terkena PHK.
Di sisi lain, Amerika Serikat sebagai pasar utama produk dalam negeri tengah mengalami penurunan permintaan dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara itu, Anggota Komisi VI dari Fraksi PKS Amin Ak menilai Permendag Nomor 8 Tahun 2024 berpotensi membuat kondisi kian berat.
Amin menyarankan agar Permendag 8/2024 diselaraskan dengan upaya peningkatan daya saing industri dalam negeri. Dia khawatir kebijakan ini akan menurunkan optimisme pelaku industri, menghambat teknologi dan inovasi, serta meningkatkan ketergantungan pada produk impor, yang pada akhirnya melemahkan industri domestik.