Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai negara agraris di khatulistiwa, Indonesia dianugerahi berbagai kemudahan dan potensi yang besar untuk berkegiatan di bidang pertanian.
Didukung melimpahnya sumber daya alam dan kekayaan plasma nutfah, menjadikan sektor pertanian sebagai kekuatan andalan dalam menopang perekonomian dan kedaulatan pangan Indonesia.
Data BPS (2022) mencatat bahwa sektor pertanian berkontribusi sebesar 12,4% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) nasional.
Sektor pertanian juga mampu menyerap banyak tenaga kerja, yang dapat dilihat dari jumlah petani di Indonesia pada 2023 mencapai lebih dari 28 juta. Bonus demografi semestinya berpotensi besar menjadi mesin penggerak pertanian Indonesia ke depan untuk terus maju menuju kedaulatan pangan yang dicita-citakan.
Alih-alih menjadi negara agraris yang berdaulat di sisi ketahanan pangan, Indonesia justru dihadapkan pada berbagai permasalahan pertanian yang kompleks dan menahun. Produktivitas pertanian stagnan, infrastruktur penunjang tidak merata, dan pendapatan petani rendah serta terhambatnya regenerasi petani telah menjadi masalah nyata di sektor pertanian.
Tercatat, hanya 21,9% petani yang berumur di bawah 40 tahun. Keengganan generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian dalam jangka panjang tentunya akan berisiko pada penurunan kontribusi pertanian terhadap perekonomian nasional.
Baca Juga
Di sisi lain, perubahan iklim global secara nyata telah menyebabkan keterbatasan pada ketersediaan air dan luasan lahan yang layak tanam. Kondisi ini semakin diperparah oleh problem degradasi lahan yang disebabkan oleh salinitas, keasaman tanah, penggerusan kandungan bahan organik, dan terganggunya keseimbangan ideal hara tanah.
Dalam hal ini, pertanian presisi melalui pengimplementasian smart farming menjadi salah satu solusi. Smart farming adalah bagian dari pengembangan pertanian presisi yang fokusnya adalah pemanfaatan teknologi canggih dalam peningkatan produktivitas tanaman.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian pun telah menetapkan penerapan pertanian presisi/digitalisasi pertanian sebagai upaya peningkatan produksi dan produktivitas sektor pertanian. Hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2020-2024, yang disahkan melalui Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 484/KPTS/RC.020/M/8/2021.
Sejak diterbitkannya Kepmentan tersebut, berbagai penelitian dan pengembangan terkait konsep pertanian presisi melalui smart farming terus dilakukan oleh akademisi dan periset baik dari instansi pemerintah maupun swasta terus dilakukan.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai salah satu dari lembaga pemerintah dengan tugas dan fungsi menghasilkan inovasi teknologi yang dibutuhkan oleh masyarakat juga tengah giat melakukan pengembangan konsep smart farming, baik yang ditujukan untuk menangani kendala lapangan yang ada terutama untuk akurasi aplikasi input produksi, juga mengembangkan beberapa jenis instrumen cerdas.
Sejauh ini, adaptasi konsep smart farming di Indonesia terbilang pesat dan menjanjikan. Tidak hanya lebih mudah diterima dan diterapkan oleh para petani, ternyata konsep smart farming juga mampu menarik minat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian.
Hal tersebut dikarenakan smart farming menawarkan konsep pertanian yang berbeda dari pertanian konvensional yang identik dengan kotor dan terpaan terik matahari. Dalam penerapannya, smart farming menggunakan teknologi canggih yang diperlengkapi sistem otomasi dan kendali jarak jauh, seperti sensor, drone dan citra satelit, adopsi IoT, dan koneksi big data.
Minat dan daya tarik yang dimiliki smart farming ini berpotensi besar untuk dapat diimplementasikan dalam skala luas untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia.
Berbagai perusahaan swasta, seperti INDICO melalui platform DFE (Digital Food Ecosystem), juga mulai menawarkan solusi smart farming kepada petani. Dalam uji coba terbaru DFE, penerapan smart farming dengan bantuan drone untuk penyemprotan pupuk di 20 hektare sawah, terbukti 16 kali lebih cepat dan hemat tenaga dibandingkan metode manual serta mengurangi biaya tenaga kerja sebesar 16% dan penggunaan pupuk sebesar 20%.
Dengan perkembangan serta potensi yang menjanjikan tersebut, pengembangan smart farming tentu masih perlu terus disempurnakan. Penerapan smart farming juga masih memiliki tantangan besar yaitu biaya investasi yang terbilang tinggi. Oleh karena itu, smart farming di Indonesia perlu dikembangkan agar efektif, efisien, dan terjangkau bagi petani, namun tidak meninggalkan konsep utamanya.
Dukungan dari institusi pemerintah, akademisi, dan swasta seperti DFE sangat besar pengaruhnya terhadap kemajuan pengembangan smart farming di Indonesia.