Bisnis.com, JAKARTA - PT PLN (Persero) membuka peluang potensi pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.
Direktur Manajemen Risiko PLN Suroso Isnandar mengatakan, ada ruang untuk PLTN dapat masuk ke sistem kelistrikan Tanah Air selepas 2024.
“Dari simulasi kebutuhan energi ke depan, ada ruang setelah 2034 untuk nuklir energi, masih simulasi dan akan menuju ke sana, ini kebijakan pemerintah dan kita akan menuju ke sana," kata Suroso dalam acara Green Energy Forum, Rabu (29/5/2024).
Namun, Suroso menyampaikan pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir ini masih menunggu kebijakan dari pemerintah.
Pemerintah belakangan memang mempercepat target operasi komersial pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN ke 2032, dari yang sebelumnya ditenggat pada 2039 dalam peta jalan nol emisi karbon nasional.
Rencana itu muncul dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang telah diselesaikan Dewan Energi Nasional (DEN) akhir tahun lalu.
Baca Juga
Rencananya, kapasitas terpasang PLTN pada 2032 dengan skala kecil dipatok di level 1 gigawatt (GW) hingga 2 GW.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lewat Komisi VII juga menghendaki masuknya nuklir dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).
Wakil ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan bahwa pihaknya mengatakan bahwa pembahasan nuklir sudah tidak ada masalah lagi dalam pembahasannya.
“Nuklir itu kan pertanyaannya kapan mau menggerakkan energi nuklir dan itu perlu masuk atau tidak. Kita tetap menghendaki nuklir masuk dalam UU EBET,” kata Eddy saat ditemui di komplek parlemen dikutip, Rabu (20/3/2024).
Kemudian, terkait dengan pengecualian persetujuan DPR untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) generasi ketiga dalam RUU EBET, Eddy mengatakan pihaknya menolak hal tersebut.
Sebab, Eddy menilai bahwa pengembangan nuklir keamanan dan keselamatan yang tinggi dan tidak bisa diberikan sembarangan tanpa adanya pengalaman yang mumpuni.
“Oleh karena itu, kita ingin tetap ukuran besar atau kecil tetap persetujuan DPR," ujarnya.