Bisnis.com, JAKARTA - Tingkat pengangguran terbuka atau TPT di 2025 diperkirakan menurun meski ada kemungkinan meleset dari target yang dipatok pemerintah yakni di kisaran 4,5% hingga 5,0% lantaran adanya sejumlah tantangan yang menjadi penghambat pencapaian target.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) kemungkinan turun di kisaran 5,1% pada 2025.
“Ada beberapa tantangan di 2025 dari sisi tenaga kerja,” kata Bhima, Jumat (26/4/2024).
Pertama adalah porsi sektor informal yang semakin besar sehingga membuat penyerapan tenaga kerja tidak optimal. Sementara, sektor formal tumbuh melambat imbas kenaikan biaya bahan baku, biaya operasional, hingga fluktuasi nilai tukar Rupiah.
Bagi perusahaan, kata Bhima, kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap kemampuan perusahaan dalam menyerap tenaga kerja secara masif. Apalagi, lanjut dia, sektor penyerap tenaga kerja terbesar seperti industri pengolahan masih dalam fase ‘hati-hati’ dalam melakukan ekspansi usaha di 2025.
Tantangan selanjutnya adalah di sektor pertanian. Bhima mengungkapkan, sektor ini tengah menghadapi tantangan yang lebih kompleks dari sisi biaya produksi dan operasional.
Baca Juga
Biaya produksi di pertanian yang meningkat tidak berbanding lurus dengan harga jual produk pertanian, mengakibatkan serapan tenaga kerja di sektor ini kian melemah.
“Angkatan kerja baru yang mau terlibat di sektor pertanian ini semakin terbatas,” ungkapnya.
Selanjutnya adalah serapan tenaga kerja di sektor perdagangan jasa. Bhima menyebut, masifnya digitalisasi di sejumlah perusahaan secara tidak langsung telah menyebabkan kurangnya serapan tenaga kerja. Hal tersebut dinilai dapat memengaruhi proyeksi serapan tenaga kerja.
Bhima memperkirakan, sektor perdagangan jasa yang dapat diandalkan di 2025 adalah jasa pariwisata. Oleh karena itu, dia melihat bahwa sektor ini perlu didorong untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Ke depannya, pemerintah diharapkan dapat melihat peluang penciptaaan lapangan kerja baru, utamanya di sektor energi terbarukan yang membutuhkan banyak tenaga kerja.
Misalnya, dengan menggelar pelatihan, upgrading dari sektor vokasi, hingga konektivitas perguruan tinggi dengan pelaku industri sehingga lebih banyak menyuplai tenaga kerja yang berketrampilan khusus dan spesifik.
Bhima juga meminta pemerintah untuk dapat membaca permintaan tenaga kerja dari luar negeri. Menurutnya, adanya penurunan populasi di Jepang dan Korea Selatan misalnya, dapat menjadi kesempatan tenaga kerja Indonesia untuk mengisi pos-pos yang masih dibutuhkan di negara tersebut.
“Itu juga bisa mengurangi angka pengangguran,” ujar Bhima.
Usulan lainnya yakni dengan memberikan paket kebijakan untuk menstimulasi sektor-sektor yang berorientasi pada ekspor atau sektor padat karya, seperti memberi insentif perpajakan hingga insentif pengurangan masuk bahan baku.
Selain itu pemerintah juga harus memperbesar porsi industri manufaktur, mengingat tulang punggung dari ekonomi Indonesia adalah industrialisasi. Misalnya, dengan menarik lebih banyak investasi padat karya agar dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.
Terakhir adalah menghubungkan UMKM dengan rantai pasok perusahaan-perusahaan skala besar, mengingat sebagian besar serapan tenaga kerja ada di UMKM.
“Sehingga permintaan produk UMKM semakin meningkat dan menjadi salah satu opsi bagi pencari kerja,” pungkasnya.