Bisnis.com, JAKARTA — PT Freeport Indonesia (PTFI) mencatatkan beban bea keluar konsentrat tembaga mencapai US$156 juta atau setara dengan Rp2,52 triliun (asumsi kurs Rp16.200 per dolar AS) sepanjang kuartal I/2024.
Jumlah tersebut melonjak 817,65% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I/2023, bea ekspor yang dibayarkan Freeport hanya sebesar US$17 juta atau sekitar Rp275,4 miliar. Saat itu, tarif bea keluar yang dikenakan hanya sebesar 2,5%.
Selepas konstruksi smelter tembaga baru PTFI di Gresik, Jawa Timur rampung lebih dari 90% pada akhir 2023, Freeport-McMoRan Inc. (FCX) kembali melobi pemerintah untuk membebaskan bea keluar konsentrat pada paruh pertama tahun ini.
President Freeport-McMoRan Kathleen Quirk mengatakan, pihaknya terus berupaya untuk berdiskusi dengan pemerintah Indonesia saat ini ihwal kelanjutan ekspor konsentrat tembaga dan lumpur anoda sampai akhir Desember 2024 nanti.
Sembari, kata Kathleen, pihaknya turut berupaya untuk menganulir penerapan bea keluar sebesar 7,5% atas ekspor konsentrat tembaga tersebut.
“Kita berdiskusi sangat intens dengan pemerintah Indonesia untuk melanjutkan ekspor konsentrat dan lumpur anoda sampai smelter dan pemurnian logam bisa operasi sepenuhnya,” kata Kathleen dalam Earnings Conference Call Kuartal I/2024 pada Selasa (23/4/2024) waktu New York atau Rabu (24/4/2024) waktu Indonesia.
Baca Juga
Selepas relaksasi ekspor diputus Juni 2023 lalu, PTFI dikenakan bea keluar sebesar 7,5% sesuai amanat dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71/2023 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Berdasarkan beleid yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 12 Juli 2023 lalu itu, tarif bea keluar untuk konsentrat tembaga bagi perusahaan dengan progres smelter 70-90% dikenakan sebesar 7,5% pada periode 17 Juli-31 Desember 2023 dan naik menjadi 10% pada periode 1 Januari-31 Mei 2024.
Untuk perusahaan dengan progres smelter di atas 90%, bea keluar yang dikenakan sebesar 5% pada periode 17 Juli-31 Desember 2023 dan naik menjadi 7,5% pada periode 1 Januari-31 Mei 2024.
Kathleen berharap bea keluar itu bisa dibebaskan selepas kemajuan pembangunan smelter Manyar telah lebih dari 90% tutup tahun kemarin. Dia beralasan bea keluar itu tidak sejalan dengan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang didapat PTFI pada 2018 lalu.
“Diskusi dengan pemerintah sampai saat ini berlangsung positif dan itu didukung dengan status proyek dan rencana startup kita,” kata dia.
Sementara itu, PTFI mencatat penjualan konsolidasi tembaga mencapai 493 juta pounds dan 564.000 ounces emas pada triwulan I/2024, atau naik dua kali lipat dari torehan sepanjang periode yang sama tahun lalu. Pada triwulan I/2023, PTFI hanya mencatatkan penjualan tembaga sekitar 198 juta pounds dan emas di level 266.000 ounces.
FCX memproyeksikan volume penjualan konsolidasi tembaga dari PTFI bisa menyentuh di angka 1,7 miliar tembaga dan 2 juta ounces emas pada tutup tahun 2024.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menegaskan tarif bea keluar yang dikenakan kepada PTFI sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan soal pungutan dan pertambangan mineral.
Febrio mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Mineral. Beleid itu melegitimasi pungutan bea keluar tersebut.
“Kita memang melihat PP-nya mengatakan bea keluar itu bentuknya prevailling, jadi itu sesuai dengan peraturan jadi tidak ada yang bingung,” kata Febrio saat ditemui di Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Dengan demikian, Febrio menegaskan, pungutan bea keluar untuk PTFI yang diatur lewat peraturan setingkat menteri itu telah selaras dengan payung hukum yang mengatur soal penerimaan negara di atasnya.