Bisnis.com, JAKARTA- Pemerintah dikabarkan siap merevisi kebijakan Larangan dan Pembatasan alias Lartas Impor yang malah menyasar komponen dan bahan baku industri. Para pelaku industri pun ramai-ramai melancarkan protes.
Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36/2023 jo. Permendag No 3/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor itu telah berlaku per 10 Maret dan turunan petunjuk teknis bagi pelaku usaha industri telah diterbitkan melalui Peraturan Menteri Perindustrian.
Beleid ini dinilai menjerat rantai pasok industri dalam negeri yang sebagian mengandalkan komponen maupun bahan baku impor. Sistem proteksi lewat Lartas Impor dinilai tak sejalan dengan prinsip kerja rantai pasok global, yang menghubungkan berbagai basis produksi.
Para pelaku industri menyoroti beberapa aturan teknis Lartas Impor, antara lain prosedur perizinan impor atau PI yang rumit. Dalam pasal 12A Permendag 3/2024 disisipkan prosedur baru untuk importasi yakni dengan mengantongi Persetujuan Impor dan/atau Laporan Surveyor (LS) sebagai dokumen pelengkap Pabean. Sebelumnya, hanya dengan PI saja pengusaha dapat melakukan importasi.
Salah satu yang menentang yakni Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) yang menyebut mekanisme prosedur perizinan impor perlu direvisi. Sebab, industri alas kaki mulai kesulitan memperoleh bahan baku impor, sementara utilisasi kapasitas produksi semakin terperosok di bawah 50%.
"Ketika ada demand dari produk lokal kita misal pesan sepatu untuk lebaran, di industri kami kesulitan bahan baku karena salah satunya itu proses perizinannya," ujar Direktur Eksekutif Aprisindo, Firman Bakrie.
Hal lainnya terkait lembaga surveyor sebagaimana tertuang dalam pasal 24 disebutkan bahwa verifikasi dan penelusuran teknis kebutuhan impor dilakukan oleh Surveyor yang telah ditetapkan oleh Menteri. Pengajuan permohonan verifikasi dilakukan secara elektronik oleh importir melalui sistem yang dimiliki surveyor.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo) Handaka Santosa mengatakan kebijakan LS bagi importir memberatkan. Tak hanya produsen manufaktur, pihak ritel juga menilai hal tersebut dapat mengganggu kinerja penjualan ritel.
"Kalau ini sampai terganggu, ini akan menjadikan satu kesulitan untuk pondasi melangkah ke depannya, jadi kalau memang masih bingung menunjuk konsultan untuk verifikasi laporan, baru ada dua, Surveyor Indonesia dan Sucofindo, lebih baik ditunda dulu, yang rugi bukan image-nya pemerintah, tetapi income-nya pemerintah, pendapatannya akan turun," terangnya.
Lebih jauh, Kementerian Perindustrian bertanggung jawab mengeluarkan Pertimbangan Teknis (Pertek) melalui Permenperin untuk sejumlah industri seperti besi dan baja, kosmetik hingga obat tradisional, tekstil dan alas kaki, elektronik, serta komoditas industri kimia hulu.
Misalnya, Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 6/2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik. Pada pasal 16 ayat 1 bahwa pengajuan pertek disetujui dalam waktu 5 hari kerja.
Namun, menurut Ketua Dewan Pembina Perprindo Darmadi Durianto mengatakan masih banyak pengajuan pertek yang sudah lebih dari 5 hari kerja bahkan sampai bulanan tanpa ada kejelasan status persetujuan pertek.
Dia pun menunjukkan ketidaksiapan sistem lantaran aturan tersebut belaku pada Februari 2024 namun Kemenperin baru mengundang produsen elektronik terkait penyusunan usulan kebijakan importasi pada 22 Maret 2024
"Berarti sudah 1 bulan lebih Peraturan diberlakukan sehingga Perprindo beranggapan bahwa implementasi Permenperin ini masih banyak harus diperbaiki agar pelaku usaha memperoleh kepastiaan hukum," ujarnya.
LARTAS IMPOR BABLAS
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai aturan yang tercantum dalam Permendag 36/2023 jo. 3/2024 tentang Pengaturan Impor itu mestinya lebih spesifik ditujukan untuk industri dan komoditas tertentu. Singkatnya, tidak bablas malah merugikan industri dalam negeri.
Kepala Center of Industri, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan lartas impor yang juga berlaku pada bahan baku/penolong hanya akan menurunkan kinerja manufaktur.
"Lartas itu fokusnya seharusnya kepada industri-industri yang kita kuat sebetulnya dan menurut saya jangan sampai dia [lartas] malah mengurangi atau menghalangi bahan baku itu masuk ke dalam negeri," kata Andry saat dihubungi, Rabu (17/4/2024).
Dia menggambarkan, bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) hilir kebijakan lartas impor border menjadi angin segar karena selama ini impor barang konsumsi dan bahan baku ilegal membanjiri pasar domestik.
Sementara, industri hulu tekstil khususnya bahan baku polyester masih memerlukan importasi karena 90% masih diimpor dan tidak diproduksi dalam negeri.
Sama hal nya dengan industri hulu elektronik, aturan Permendag 3/2024 dan turunannya yakni Permenperin 6/2024 terkait Pertimbangan Teknis (Pertek) justru memberatkan industri nasional, sebab bahan baku kompressor untuk elektronik belum ada dalam negeri.
"Dengan adanya lartas ini justru membuat investor sulit untuk masuk ke dalam negeri karena kalau berbicara elektronik mereka pasti harus terhubung dengan beberapa faktor produksi di luar negeri," terangnya.
Dalam hal ini, dia menilai produsen elektronik memiliki global value chain yang kuat dan tidak dapat diperoleh atau dikembangkan di satu negara saja. Artinya, ketika investor membangun pabrik elektronik di RI dia tetap harus memasok barang dari pabrikan komponennya di luar negeri.
Andry menekankan, kondisi tersebut tidak dapat serta merta diselesaikan dengan subtitusi impor produk lokal ataupun investasi pengembangan pohon industri komponen elektronik.
"Kita melihat bahwa di beberapa negara pun lartas elektronik itu tidak biasa, apalagi kalau kita bicara seperti Vietnam yg memiliki investor elektronik yang cukup besar, lartas elektronik itu tidak diterapkan disana, tetapi investor senang dengan berada disana," tuturnya.