Bisnis.com, JAKARTA- Konflik di Timur Tengah memanas seiring ketegangan antara Israel dan Iran akan mempekeruh kondisi perekonomian global, terutama pada pasar tujuan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan sentimen negatif konflik tersebut akan memengaruhi gangguan pasokan minyak global hingga depresiasi nilai tukar rupiah.
"Untuk industri sendiri sebenarnya pengaruhnya ada pada dampak tidak langsung yaitu dari pergerakan nilai tukar rupiah maupun harga minyak," kata Yusuf kepada Bisnis, Senin (15/4/2024).
Menurut Yusuf, industri dalam negeri yang membutuhkan bahan baku impor akan menanggung beban biaya yang lebih banyak ketika depresiasi nilai tukar terjadi.
Terlebih, tanpa memasukkan unsur konflik, depresiasi nilai tukar sudah terjadi dalam beberapa hari terakhir. Jika sentimen dari konflik ini berlanjut maka pergerakan dari nilai tukar akan lebih volatile dan membutuhkan perhatian khusus dari otoritas terkait.
"Meski demikian dampak dari serangan Iran ke Israel ini ke industri menurut saya belum terlalu signifikan mengingat saat ini serangan ini masih bersifat jangka pendek dan masih terdapat Kemungkinan tidak akan ada serangan lanjutan yang akan dilakukan oleh Iran ataupun Israel," tuturnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Yusuf menyoroti keprihatinan utamanya yakni ancaman gangguan pasokan minyak yang dapat menyebabkan lonjakan harga minyak karena Selat Hormuz merupakan jalur perdagangan vital untuk ekspor minyak.
Hal ini dapat berdampak merambat pada ekonomi global, termasuk Indonesia, yang sangat bergantung pada impor minyak. Terlebih, dalam seminggu terakhir pergerakan dari nilai harga minyak berada di kisaran US$85 per barel.
"Kondisi ini relatif berada di atas asumsi makro untuk harga minyak yang ditetapkan oleh pemerintah berada di Kisaran US$82 per barel," terangnga.
Jika konflik Timur Tengah ini berlangsung panjang maka periode harga minyak yang tinggi akan terjadi mengingat Iran merupakan salah satu produsen minyak global.
Menurut Yusuf, hal ini perlu perhatian negara-negara dan importir minyak seperti Indonesia di mana dalam kondisi tertentu penyesuaian kebijakan terutama kebijakan fiskal tentu perlu dilakukan untuk merespon kenaikan harga minyak tersebut.
"Konflik juga dapat mempengaruhi nilai tukar mata uang di Indonesia, karena investor mungkin mencari aset yang lebih aman, yang potensialnya dapat menyebabkan penurunan nilai Rupiah Indonesia," ungkapnya.
Lebih lanjut, Yusuf menegaskan bahwa kondisi harga minyak dan nilai tukar rupiah inilah yang perlu menjadi perhatian regulator, apalagi jika ada aksi retaliasi yang dilakukan oleh Israel dan sekutunya terutama kepada Iran.
Maka, penyesuaian pada asumsi harga minyak dalam negeri nanti perlu dilakukan. Selain itu, perubahan pada harga BBM juga bisa terjadi dengan asumsi bahwa konflik ini akan berlanjut karena ada aksi balasan dari Israel dan sekutunya.
"Jika tereskalasi lebih jauh, menyebabkan perang yang lebih luas di Timur Tengah. Ini bisa potensial menjatuhkan ekonomi global ke dalam resesi," imbuhnha.
Sebab, dampak terhadap sentimen investor akan signifikan lantaran ketidakpastian dan volatilitas dapat menyebabkan penurunan aktivitas investasi. Meskipun, ada faktor lain yang juga ikut mempengaruhi psikologi investor.