Bisnis.com, JAKARTA - Setelah dua tahun invasi Rusia ke Ukraina, banyak warga di Rusia yang merasa bahwa perekonomian masa perang berjalan baik bagi mereka terlepas adanya sanksi dari negara-negara Barat.
Upah di Rusia diketahui melonjak, nilai rubel stabil, dan angka kemiskinan serta pengangguran mencapai rekor terendah. Menurut data Federal Statistics Service, para pekerja berpenghasilan terendah selama tiga kuartal terakhir telah meningkat lebih cepat daripada segmen masyarakat lainnya, mencatatkan tingkat pertumbuhan tahunan sekitar 20%.
Menjelang pemilihan presiden Rusia pada 15-17 Maret 2024, dengan kemenangan Presiden Vladimir Putin hampir dipastikan, ketidakpuasan publik terhadap ekonomi sebagian besar tidak ada.
Meskipun perang telah menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka, serta tantangan jangka panjang seperti inflasi yang masih tinggi, Putin mengklaim keberhasilan Rusia melewati tantangan ekonomi saat ini.
“[Rusia mendekati pemilihan umum] dalam kondisi yang baik," jelas ekonom Renaissance Capital Sofya Donets, seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (14/3/2024).
Lanjutnya, dalam survei dikatakan bahwa sentimen konsumen yang sangat optimis terhadap situasi keuangan saat ini dan masa depan. Hal ini menunjukkan bahwa situasi ekonomi saat ini tidak mirip krisis.
Baca Juga
Pemerintah mengeluarkan dana besar-besaran untuk dukungan sosial bagi keluarga, kenaikan dana pensiun, subsidi kredit perumahan dan kompensasi bagi keluarga mereka yang bertugas di militer.
Perang melawan Ukraina juga memperparah kekurangan tenaga kerja. Hal ini menguntungkan masyarakat awam Rusia yang menikmati keamanan dalam pekerjaan jangka pendek karena para manajer enggan memecat siapa pun.
Sumber kekhawatiran ekonomi yang besar dan terus-menerus bagi Kremlin adalah pertumbuhan harga yang cepat yang menggerogoti pendapatan masyarakat Rusia.
“Bagi sebagian besar warga Rusia, perang menjadi peluang mobilitas sosial dan ekonomi yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan. Beberapa berhasil meluncurkan bisnis baru,” jelas sosiolog Social Foresight Group Anna Kuleshova.
Di lain sisi, ekonom Bloomberg untuk Rusia Alex Isakov mengatakan bahwa belanja militer pemerintah tidaklah gratis, dab mengakibatkan berkurangnya pendapatan ekspor energi serta berkurangnya cadangan devisa yang dibangun Rusia sebelum dimulainya perang.
“Dalam jangka pendek, besarnya fiskal akan terus mendukung tingginya kepercayaan konsumen, namun ketika Rusia kehabisan sisa Dana Kekayaan Nasionalnya, pemerintah akan menghadapi pilihan fiskal yang sulit antara menerima inflasi yang lebih tinggi, memotong belanja atau menaikkan pajak,” terangnya.
Kemudian, peningkatan pengeluaran sosial dan perang telah menyebabkan defisit anggaran yang besar dan mengancam bahwa ekonomi yang sudah memanas bisa terus mendorong kenaikan harga.
Sementara itu, kesenjangan anggaran federal pada 2024 mencapai 1,5 triliun rubel atau sekitar Rp256 triliun pada akhir Februari, sementara Kementerian Keuangan telah merencanakan defisit sebesar 1,6 triliun rubel atau Rp273 triliun untuk keseluruhan tahun ini. Cadangan dana kekayaan Rusia telah berkurang setengahnya.
Tak hanya itu, pemerintah juga sedang mempertimbangkan untuk menaikkan pajak bagi mereka yang berpenghasilan lebih tinggi.