Bisnis.com, JAKARTA - Ombudsman menyoroti lambannya respons pemerintah dalam menangani kenaikan harga beras yang terus melonjak melampaui harga eceran tertinggi (HET) hingga terjadi kelangkaan stok.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, seharusnya pemerintah bisa belajar dari polemik lonjakan harga dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi 2 tahun lalu. Pasokan yang terbatas berisiko pada lonjakan harga dan aksi spekulan.
"Kita punya lesson learned dari minyak goreng, bagi saya ini menjadi snow ball effect, kalau kita gagal dalam memitigasi dengan cermat akhirnya begini," ujar Yeka saat ditemui di Kantor Ombudsman, Rabu (28/2/2024).
Menurut Yeka, seharusnya pemerintah bisa merespons cepat ihwal sinyal kenaikan harga beras dengan menyalurkan beras Bulog atau SPHP ke ritel modern. Alih-alih sejak awal hanya fokus mengguyur beras Bulog ke Pasar Induk Beras Cipinang.
Alhasil, lambatnya suplai beras Bulog di ritel modern dianggap telah memicu kelangkaan beras hingga aksi panic buying oleh masyarakat.
"Ini adalah mitigasi yang kurang sigap, padahal ombudsman sudah peringatkan ini sejak tahun lalu," tuturnya.
Baca Juga
Kendati begitu, Yeka belum bisa bisa berkomentar lebih jauh soal spekulan dalam perdagangan beras saat ini. Sebab, menurutnya ketika harga sudah kepalang tinggi dan langka, tindakan oportunis pelaku usaha menjadi hal yang mungkin terjadi.
"Kalau saya melihatnya, kalau barang sudah langka anything can happen, artinya orang-orang bisa memperkeruh suasana," ucap Yeka.
Oleh karena itu, Yeka menekankan bahwa membanjiri seluruh saluran pasar dengan pasokan beras Bulog bisa menjadi langkah strategis untuk menstabilkan harga dan meminimalisir kelangkaan.
"Saya kritik enggak boleh ke Cipinang saja, tapi ke ritel juga dan masyarakat. Dengan kondisi sekarang, jangan berpikir kerja sendiri, berkoordinasi saja," kata Yeka.
Sebelumnya, berdasarkan catatan Bisnis.com, Sabtu (17/2/2024), kelangkaan beras di gerai ritel modern disinyalir akibat macetnya suplai beras dari para produsen. Adanya, HET penjualan di ritel modern, membuat pasar tradisional lebih menggiurkan.
Salah seorang bandar beras di Pasar Induk Cipinang, Anto mengakui bahwa para produsen besar seperti Wilmar dan Topi Koki mulai banyak menjual beras ke lapaknya. Sebab, harga beras di pasar tradisional lebih tinggi dibandingkan ritel modern.
Menurut Anto, harga beras premium di pasar tradisional di kisaran Rp15.000 - Rp16.000 per kilogram, sementara HET di ritel modern dipatok Rp13.900 per kilogram.
"Kayak Topi Koki yah biasa di Mal [ritel modern] itu kan penuh, sekarang kosong, makanya sekarang larinya ke sini. Kalau pasar tradisional kan istilahnya tidak begitu ngurus HET, murah jual mahal, mahal jual mahal, kalau pasar modern harus ikutin HET," ungkap Anto kepada Bisnis.
Di sisi lain, produsen juga tidak perlu menambah biaya pengemasan apabila menjual di Pasar Induk. Berbeda apabila menjual di ritel modern dengan kemasan 5 kilogram.
"Logikanya kalau dijual [kemasan] 50 kilogram aja cepat ngapain kita jual [kemasan] kecil gitu," tuturnya.
Saat dikonfirmasi, Presiden Direktur Wilmar Padi Indonesia Saranto Soebagio enggan menanggapi hal tersebut. Namun, dia membenarkan bahwa saat ini harga panen gabah di petani masih di level yang tinggi menyebabkan harga beras ikut naik. Menurutnya, kondisi serupa dialami oleh semua penggilingan beras.
"Saat ini petani belum masuk panen gabah, sehingga harga masih tinggi dan stok semua penggilingan padi minim," ujar Saranto saat dihubungi.