Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Ryan Kiryanto

Ekonom, Co-Founder dan Dewan Pakar Institute of Sosial Economic and Digital (ISED)

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Saat Ekonomi Global Sedang Tidak Bersahabat

Jerman, salah satu motor utama perekonomian dunia dan Eropa, hingga saat ini masih terengah-engah memulihkan ekonominya.
Ekonomi global sedang tidak bersahabat
Ekonomi global sedang tidak bersahabat

Bisnis.com, JAKARTA - Dalam berbagai publikasi lembaga internasional terekspos bahwa Jerman, salah satu motor utama perekonomian dunia dan Eropa, hingga saat ini masih terengah-engah memulihkan ekonominya.

Pada awal 2024 ini, ekonomi Jerman berada dalam resesi teknis. Hanya konsumsi swasta yang menawarkan secercah harapan berkat pertumbuhan upah yang kuat disertai penurunan laju inflasi yang cukup signifikan.

Terhambatnya pemulihan ekonomi Jerman, negara terbesar ketiga dalam valuasi produk domestik bruto (PDB) global, turut andil dalam menahan pertumbuhan PDB global berkisar 3,1% pada 2024 ini, setelah mampu tumbuh 3,0% pada 2023.

Ekonomi Jerman sendiri diestimasikan—oleh Dana Moneter Internasional (IMF) edisi Januari 2024 lalu—terkontraksi dengan pertumbuhan minus 0,3% di 2023, lalu bergerak naik ke 0,5% tahun ini dan melanjutkan perbaikan yang lebih kuat ke 1,6% di 2025. Kenaikan yang signifikan ini didukung oleh menguatnya konsumsi swasta setelah harga energi melandai.

Seiring perbaikan PDB Jerman, laju inflasi diperkirakan mampu dijaga di level 2,5% pada 2024 ini, mendekati level target yang 2,0%, setelah bertengger di level 5,9% pada 2023. Penurunan inflasi ini memberikan dorongan kepada bank sentral Jerman untuk menjaga stance kebijakan yang longgar.

FRAGMENTASI PEMULIHAN

Berbasis data IMF tersebut, di Uni Eropa, pemulihan ekonomi terlihat dari estimasi 0,5% (2023) ke 0,9% (2024) dan terus tumbuh lebih baik ke 1,7% (2025). Tiga negara besar anggota Uni Eropa—Prancis, Italia dan Spanyol—diperkirakan tumbuh positif berkisar 1,0% (2024) dan 1,5% (2025).

Ekonomi Inggris, bagian dari Eropa tapi tidak tergabung dalam Uni Eropa setelah keluar dari Uni Eropa (baca: Brexit), menderita cukup parah. Jika di 2023 diestimasikan tumbuh 0,5%, untuk 2024 dan 2025 diperkirakan tumbuh lebih baik sebesar 0,6% dan 1,6%. Serangkaian kebijakan reformatif dirilis pemerintah Inggris untuk mengembalikan jalur pemulihan lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.

Sejalan dengan itu, laju inflasi di Eropa dan AS dapat dikendalikan menuju level target bank sentral 2%, membuka jalan bagi bank sentral AS (The Fed) dan bank sentral Eropa (ECB) memulai langkah pemangkasan suku bunga acuan.

Stance kebijakan The Fed sejauh ini belum berubah, dengan pertimbangan ekspektasi inflasi global bakal mendaki karena efek eskalasi ketegangan di Laut Merah yang berpotensi mendongkrak harga minyak dunia.

Kebijakan The Fed yang masih ketat tidak mengendurkan aktivitas ekonomi AS –utamanya sektor manufaktur dan jasa—karena pelaku ekonomi dan bisnis sudah terkondisi dengan era suku bunga tinggi (fed fund rate berada di range 5,25%—5,50% hingga kini). Fakta membuktikan, ekonomi AS mampu terhindar dari resesi, karena secara tahunan mampu tumbuh 3,15% di 2023 dengan inflasi 3,4%.

Untuk 2024 dan 2025 nanti, ekonomi AS diperkirakan tumbuh moderat ke 2,1% dan 1,7% yang mengindikasikan normalisasi ekonomi AS seperti sebelum pandemi Covid-19. Suku bunga The Fed diramalkan akan melandai di akhir semester pertama 2024 menjadi 5,00%—5,25% dan berlanjut ke 4,75%—5,00% di pengujung tahun ini. Perkiraan ini sudah memperhitungkan sikap waswas The Fed menyikapi meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah.

Yang menarik, motor pertumbuhan ekonomi dunia di 2024 hingga 2025 tetap bertumpu pada negara-negara berkembang di kawasan Asia. Jika di 2023 lalu, kawasan ini diestimasi tumbuh 5,4%; maka untuk 2024 dan 2025 ini diperkirakan tumbuh sedikit melandai masing-masing ke 5,2% dan 4,8% yang mengindikasikan fase normalisasi pascapandemi Covid-19.

Sayangnya, perkembangan ekonomi yang baik di kawasan Asia ini terganggu oleh prospek pemulihan ekonomi China yang belum kuat. Jadi, tekanan atas pertumbuhan ekonomi dunia juga dipengaruhi oleh lambatnya pemulihan ekonomi China lantaran negara ini tidak memiliki pendorong pertumbuhan internal yang kuat terkait dengan masalah yang sedang terjadi di sektor real estat (properti) dan masyarakat konsumen yang gelisah.

Dengan status China sebagai negara perekonomian terbesar kedua di dunia, kini perhatian dunia tertuju ke arah gerak pemulihan negara ini. Estimasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% (2023), lalu diprediksi melandai di 4,6% (2024) dan 4,1% (2025), memberikan sinyal kuat bahwa penguatan ekonomi China masih membutuhkan waktu lebih lama.

Telah banyak kebijakan stimulus dikeluarkan—baik di sisi moneter maupun fiskal—untuk mempercepat pemulihan ekonomi China, tetapi geliat ekonomi belum begitu terasa karena efek kebijakan penguncian total di 2020—2022 lalu memberikan dampak negatif yang sangat dalam bagi perekonomian China.

Wajar jika proses pemulihan ekonominya membutuhkan waktu lebih lama. Maklum, pasar ekspor produk buatan negara ini telah diambil alih oleh para produsen negara lain—utamanya Vietnam, yang mampu memproduksi barang seperti buatan China.

RISIKO GEOPOLITIK

Secara umum, ekspektasi perbaikan ekonomi dunia dan pelandaian inflasi global berpotensi terganggu oleh meningkatnya risiko geopolitik—yaitu eskalasi perang di Ukraina, Jalur Gaza dan Laut Merah; ketegangan di Laut China Selatan; dan efek pemilihan umum presiden dan kepala pemerintahan diantaranya di AS, Perancis, India dan Indonesia.

Meningkatnya risiko geopolitik tersebut berdampak langsung dan tidak langsung bagi arus moda transportasi global, baik antarnegara di kawasan yang sama, antarkawasan maupun antarbenua. Sebagai contoh, ongkos transportasi minyak dunia akan terkerek naik signifikan karena perubahan rute kapal-kapal tanker minyak yang menghindari area Laut Merah untuk mengubah rute melewati pinggiran benua Afrika.

Alhasil, harga minyak dunia berpotensi naik ke kisaran US$85—US$95 per barel, yang tentunya akan memberikan tekanan baru bagi negara-negara importir minyak, termasuk Indonesia. Kenaikan harga minyak dunia jelas berefek pada kenaikan inflasi yang pada gilirannya akan menggoda bank-bank sentral untuk setidaknya menahan dulu rencana penurunan suku bunga acuan sebagai pilihan pertama yang paling rasional. Sebaliknya, jika terjadi pembalikan arah laju inflasi ke atas, maka terbuka peluang bagi bank-bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuan sebagai pilihan rasional kedua.

Sekiranya arah inflasi berbalik ke atas, diikuti arah suku bunga acuan global, tentu ini memberikan tekanan bagi aktivitas perekonomian global. Muncul analisis negara-negara industri kemungkinan akan berada dalam resesi pada paruh kedua tahun ini. Sebuah skenario terburuk jika risiko geopolitik merembet ke lonjakan inflasi dan suku bunga acuan.

Jika menilik kepada perang pernyataan di antara negara dan kelompok yang bertikai di Timur Tengah, diramaikan dengan proposal gencatan senjata yang jalan di tempat atau mandeg, kian menyulitkan terjadinya rekonsiliasi damai di kawasan Timur Tengah. Alhasil, lingkungan ekonomi dunia memang sedang tidak baik-baik saja yang harus terus diwaspadai oleh para pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi.

Meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah mulai mengganggu rantai pasokan global. Menyusul serangan oleh pemberontak Houthi terhadap kapal-kapal yang melewati Laut Merah dalam perjalanan ke Terusan Suez dan ekonomi global utama di luar, perusahaan pelayaran besar telah memperingatkan penundaan pengiriman yang signifikan.

Citra satelit menunjukkan hampir tidak ada kapal yang ditujukan ke pelabuhan utama Eropa atau AS dan Inggris dan saat ini melewati Laut Merah telah mengalihkan rute ke sekitar Afrika Selatan. Gangguan terbaru juga terjadi di terusan Panama, lantaran kombinasi kekeringan yang terkait dengan perubahan iklim dan pergeseran curah hujan akibat El Nino, telah menyebabkan permukaan air turun.

Semua ini membangkitkan kenangan menyakitkan tentang masalah rantai pasokan global yang meletus selama pandemi Covid-19. Ini berkontribusi pada serangan inflasi tinggi yang pada akhirnya memaksa bank-bank sentral global menaikkan suku bunga acuannya. Sebuah skenario yang bertolak belakang dengan skenario sebelum meletus perang di kawasan Timur Tengah.

Risiko yang lebih cepat terhadap inflasi global adalah jika ketegangan di Timur Tengah mulai memengaruhi pasokan komoditas, khususnya menaikkan harga energi. Ini adalah sesuatu yang mulai terlacak dalam putaran perkiraan terbaru yang mengasumsikan, selain friksi perdagangan, perluasan ketegangan di kawasan ini menyebabkan harga minyak naik menuju kisaran US$100—US$120 per barel.

Simulasi menggerakkan ekonomi global ke arah stagflasi karena biaya energi yang lebih tinggi mendorong inflasi, dengan risiko efek sekunder—mengingat pasar tenaga kerja yang ketat—membebani pertumbuhan dan memaksa bank-bank sentral meninggalkan hasrat penurunan suku bunga acuan dan bahkan mungkin menaikkan lebih lanjut (higher for longer).

Sejauh ini, harga minyak dunia telah berperilaku baik dengan minyak mentah Brent relatif tidak berubah pada kisaran US$80 per barel. Namun, paling tidak, perubahan rute pengiriman minyak berpotensi menaikkan ongkos angkut dan berdampak pada kenaikan harga dan inflasi yang akan mengacaukan ritme pemulihan ekonomi global.

Analisa di atas memberikan gambaran bahwa peluang pemulihan ekonomi global untuk 2024 ini dan 2025 nanti masih tersedia, meskipun dibayang-bayangi oleh kenaikan risiko geopolitik di Timur Tengah (kawasan Jalur Gaza dan Laut Merah) yang bersifat inflatori.

Perbaikan ekonomi negara-negara Eropa dan AS, didukung kestabilan ekonomi kawasan Asia (berkisar 5,2% untuk 2024) dengan motornya India dan Indonesia (masing-masing tumbuh 5,0% dan 6,5% untuk 2024) memberikan optimisme pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,1% untuk 2024 menurut IMF. Ini menjadi modal untuk terus melaju ke level 3,2% untuk 2025 nanti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ryan Kiryanto
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper