Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Praktik CCS Tak Bisa Buru-buru, Kodratul Safti: Bangun Kesadaran Energi Hijau Dulu

Perbincangan mengenai carbon capture and storage menjadi jalan bagi masyarakat untuk mengetahui istilah tersebut dengan lebih dalam dan jelas.
Pegiat energi berkelanjutan, Kodratul Safti, mengajak masyarakat sadar akan energi hijau sebelum praktik Carbon Capture and Storage dilakukan/Istimewa.
Pegiat energi berkelanjutan, Kodratul Safti, mengajak masyarakat sadar akan energi hijau sebelum praktik Carbon Capture and Storage dilakukan/Istimewa.

Bisnis.com, JAKARTA - Perbincangan mengenai Carbon Capture and Storage (CCS) yang belakangan mengemuka menjadi jalan bagi masyarakat untuk mengetahui istilah tersebut dengan lebih dalam dan jelas.

Lewat istilah CCS, jejak karbon, pemanasan global, dan perubahan iklim yang selama ini hanya dipahami industri, pelan-pelan mulai jadi obrolan masyarakat awam.

CCS merupakan teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer.

Pada dasarnya, teknologi tersebut merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang berkaitan satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

Pemisahan dan penangkapan CO2 dilakukan dengan teknologi absorpsi atau penyerapan. Teknologi ini sudah cukup dikenal oleh kalangan industri. Namun, implementasi yang lebih luas belum banyak dilakukan.

"Sebetulnya praktik soal carbon storage yang digembar-gemborkan masih memerlukan banyak studi kelayakan, khususnya jika mau diterapkan di Indonesia. Bila merujuk pada studi yang ada, Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan sampai praktik tersebut bisa dilakukan," ujar Kodratul Safti.

Safti menambahkan, studi yang layak perlu dilakukan untuk memastikan apakah tanah di Indonesia sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan untuk carbon storage

Dia menjelaskan bahwa studi terkini membuktikan bahwa tidak semua lokasi cocok menjadi area penyimpanan karbon.

Selain itu, dia juga menyoroti pentingnya untuk menggandeng Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan para ahli di bidang lingkungan sebelum menggencarkan praktik CCS.

"Bersama-sama kita perlu memahami dan memastikan bahwa risiko yang dihasilkan dari penerapan praktik CCS tersebut tidak membawa pengaruh buruk di masa depan bagi lingkungan dan masyarakat," papar Safti.

Safti yang juga pegiat energi berkelanjutan kerap menyoroti permasalahan yang berkaitan dengan jejak karbon dan tantangannya di Indonesia.

CCS menurutnya bukan solusi jangka pendek. Sebab, praktiknya tak bisa diburu-buru tanpa studi menyeluruh.

"Saat ini yang lebih kita butuhkan adalah percepatan transformasi industri energi yang bersih," tegasnya.

Namun begitu, Safti meyakini bahwa hal itu tak akan terwujud tanpa kesadaran dari masyarakat tentang energi hijau.

Untuk membangun kesadaran, Safti mengajak masyarakat untuk melihat lebih jauh risiko dari jejak karbon yang telah dihasilkan manusia.

Perlu diketahui, hampir seluruh aktivitas manusia menimbulkan jejak karbon atau juga dikenal dengan emisi gas buang.

Aktivitas sederhana seperti mengonsumsi makanan, dapat menghasilkan gas emisi. Terutama, jika makanan yang dikonsumsi berisiko menjadi tumpukan sampah.

Menurut Safti, jejak karbon yang dihasilkan pun tak dapat dihitung sesederhana kita melihat besar kecilnya ukuran makanan tersebut.

Lebih jauh daripada itu, jejak karbon mulai dihitung sejak produk makanan dibuat, mulai dari ekstraksi bahan baku, proses produksi, pengemasan, distribusi menggunakan alat transportasi, hingga sampai ke tangan konsumen.

Dalam jumlah banyak, gas emisi bisa menghasilkan dampak buruk seperti meningkatnya suhu bumi, kekurangan air bersih, timbulnya cuaca ekstrem, dan bencana alam.

Safti menambahkan bahwa dampak-dampak buruk itu sudah di depan mata dan juga mulai dirasakan masyarakat.

Tanpa kesadaran untuk beralih pada Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan, risiko yang lebih buruk lagi akan membayangi kehidupan manusia di masa mendatang.

Namun dia paham bahwa perubahan tersebut perlu upaya. Sebab mewujudkan hal itu membutuhkan dukungan dari semua pihak dan perhatian dari pemerintah berupa kebijakan yang berpihak pada keberlangsungan lingkungan dan kehidupan masa depan yang lebih baik.

Perjalanan karier Safti pada sektor ramah lingkungan, lanjutnya, bukan semata ambisi mengejar keuntungan dalam berbisnis.

Lebih dari itu, ia ikut berkomitmen dalam mendorong penggunaan energi ramah lingkungan demi masa depan Tanah Air yang lebih baik.

Ketertarikan Safti pada bidang energi berkelanjutan bukan muncul secara tiba-tiba. Dia tertarik dengan bidang ini sejak mengenyam bangku kuliah pada 1999 di Universitas Islam Indonesia (DI Yogyakarta) Jurusan Teknik Industri.

"Tak dimungkiri, latar belakang pendidikan saya di jurusan Teknik Industri yang membuat saya terpapar dengan berbagai macam informasi mengenai penciptaan dan pengembangan teknologi yang hemat energi dan ramah lingkungan. Idealisme dan pemikiran kritis yang saya miliki sebagai anak muda di usia saat itu membuat saya mempelajari lebih banyak mengenai hal tersebut," paparnya.

Pengetahuan akademis dan informasi yang diterimanya semasa kuliah menjadi patron sekaligus bekal untuk membuat bisnis yang mendukung perubahan ke arah yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Pada 2019, Safti menjadi satu dari pendiri perusahaan teknologi energi surya berlokasi di Jakarta yang menyediakan layanan serta produk ramah lingkungan dengan harga terjangkau.

Lewat upaya itu, Safti berharap, masyarakat punya pilihan untuk berkontribusi terhadap masa depan yang lebih bersih dan sehat.

"Perubahan iklim dan polusi udara yang memburuk tiap waktu bukan lagi sekadar kata untuk menakut-nakuti. Ini seruan bagi kita sebagai warga negara untuk berkesadaran bahwa energi hijau sudah menjadi urgent matter. Mulai sekarang, cobalah mengambil tanggung jawab dan komitmen untuk beralih pada pilihan-pilihan yang lebih bersih dan berkelanjutan," tegasnya.

Saat ini, Safti bergerak di bidang energi bersama perusahaannya, Iforte Energi Nusantara. Dia juga menjadi President Director PT Atap Surya dan PT Tara Telco Indonesia.

Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai EVP Sales and Marketing PT Komet Infra Nusantara dan Director PT Tara Cell.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper