Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersurat ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ihwal penerapan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) di DKI Jakarta dan beberapa daerah lainnya.
Surat yang rencananya dikirim hari ini itu menyoal aspek teknis pelaksanaan, legal berkaitan dengan status wajib pajak dan wajib pungut, serta kriteria tarif maksimal yang dipatok 10%.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji berharap dua kementerian teknis lainnya itu dapat mengevaluasi kembali dampak yang mungkin timbul dari kenaikan tarif PBBKB tersebut di daerah. Apalagi, kata Tutuka, saat ini sudah masuk ke tahun pemilihan umum atau pemilu serentak.
“Pelaksanaannya harus diperhatikan betul karena akan menimbulkan dampak di masyarakat yang kami sudah lihat,” kata Tutuka saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Ihwal surat yang dikirim itu, Tutuka menuturkan, kementeriannya tidak memiliki kapasitas untuk merekomendasikan penundaan aturan kenaikan tarif PBBKB tersebut. Menurut dia, Kementerian ESDM hanya menyampaikan sejumlah konsekuensi yang mungkin timbul dari kebijakan tersebut.
Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan tarif PBBKB sebesar 10% melalui Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No.1/2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Khusus untuk BBM kendaraan umum, tarif PBBKB ditetapkan sebesar 50% dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
Baca Juga
Keputusan itu turut menjadi amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diteken 5 Januari 2022 lalu.
Pasal 24 undang-undang itu menyebutkan subjek pajak dari PBBKB adalah konsumen bahan bakar kendaraan bermotor atau BBKB. Wajib Pajak PBBKB itu adalah orang pribadi atau badan penyedia penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB. Sementara pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
Adapun, penyedia BBKB adalah produsen dan atau importir bahan bakar kendaraan bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
“Saya tegaskan lagi bawah ada permasalahan teknis juga dalam pelaksanaannya, karena berbeda antara pribadi dan kepentingan umum, kalau beda begitu berarti dibedakan di SPBU-nya di dispensernya,” kata Tutuka.
Padahal, kata dia, Pertamina bersama dengan badan usaha lainnya belum menyiapkan pembedaan dispenser tersebut untuk kendaraan pribadi dan umum. Selain itu, dia turut menyoroti adanya permasalahan soal status atau definisi dari wajib pajak dan wajib pungut dalam beleid kenaikan tarif PBBKB tersebut.
“Siapa yang disebut wajib pajak, definisi itu harus jelas, kalau misalkan untuk produsen atau importir, misalkan di daerah Kalimantan Timur itu bisa bermasalah, kan enggak punya kilang dia, itu bisa jadi masalah juga,” kata dia.
Permasalahan terakhir, dia menggarisbawahi tidak ada aturan teknis yang lebih jelas untuk menjembatani amanat tarif PBBKB dipatok maksimal 10% sebelum diterjemahkan atau diterapkan ke masing-masing daerah dalam bentuk peraturan daerah (perda).
“Kriteria menjadi 10% itu tidak ada, jadi semua Pemda menyusunnya jadi 10% saja, maksimalin saja, kalau menurut saya harus ada kriterianya, ini enggak ada, jadi petunjuk teknis dari UU atau aturan turunanan itu yang menurut saya diperlukan,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengungkapkan, PBBKB menjadi salah satu komponen pembentuk harga BBM nonsubsidi di mana besarannya ditetapkan oleh pemerintah daerah.
“Sehingga harga jual akan menyesuaikan PBBKB masing-masing daerah,” kata Fadjar, Minggu (28/1/2024).