Bisnis.com, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) tidak akan serta-merta mematikan industri rokok dari hulu ke hilir.
Adapun, besaran pengenaan cukai pada sejumlah komoditas, termasuk tembakau tertuang dalam Undang-Undang No. 39/2007 tentang Perubahan atas UU No. 11/1995 tentang Cukai.
Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, besaran kenaikan cukai dari landasan hukum tersebut masih terlalu kecil, yakni dikisaran 53%, sementara standar internasional dari World Health Organsiation (WHO) sebesar 75%.
"Angka itu tidak serta merta mematikan industri atau petani karena seberapapun besarnya, rokok itu produk inelastis yang akan terus dicari oleh konsumen karena menimbulkan ketergantungan," kata Tulus, Kamis (25/1/2024).
Ketergantungan konsumsi rokok dinilai berbahaya ditambah dengan masih produktifnya iklan di berbagai media, harga rokok yang murah dan dijual eceran. Kondisi ini yang membuat perokok remaja semakin meningkat.
Untuk itu, kenaikan cukai di RI disebut harus lebih tinggi untuk mengendalikan peredaran rokok dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Sebab, YLKI berpandangan bahwa tembakau mengandung zat adiktif yang membahayakan kesehatan masyarakat.
Baca Juga
"Jadi, tidak bisa rokok mengikuti daya beli karena justru semakin terjangkau, semakin berbahaya karena korbannya anak-anak dan remaja, serta kelompok rentan," ujarnya.
Dalam hal ini, YLKI juga mendorong revisi UU No.39/2007 untuk menaikkan batas besaran cukai dengan mengikuti standar minimal internasional sebesar 75% dari harga jual.
"Kita masih jauh, makanya efektivitas cukai dan pajak rokok belum terlihat signigikan karena angkanya masih kecil," imbuhnya.
Di sisi lain, Tulus menepis isu kenaikan cukai yang berimplikasi pada maraknya rokok ilegal. Menurut dia, kedua hal tersebut tidak ada hubungannya sama sekali.
"Dari dulu rokok ilegal itu ada, perkara kemudian ada kejadian itu ya itu harus ada penegakan hukum, baik dari Ditjen Bea Cukai, Pemerintah Daerah atau Kementerian lain," pungkasnya.