Bisnis.com, JAKARTA – Istilah greenflation mencuat dalam beberapa hari terakhir usai dilontarkan oleh calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka saat debat cawapres Minggu (21/1/2024).
Gibran melontarkan istilah tersebut saat bertanya kepada cawapres nomor urut 3 Mahfud MD dalam salah satu sesi debat.
"Bagaimana cara mengatasi greenflation? terima kasih," ucap Gibran kepada Mahfud MD.
Secara harfiah, greenflation memiliki arti inflasi hijau, yang diambil dari green (hijau) dan inflation (inflasi).
Namun menurut Kamus Cambridge, greenflation diartikan sebagai "kenaikan harga akibat peralihan menuju ekonomi hijau". Greenflation ini kemudian merujuk pada kenaikan harga dan krisis tenaga kerja yang terjadi karena pemerintah mulai melakukan transisi menuju energi yang ramah lingkungan.
Baca Juga
Hal ini menyebabkan kenaikan harga yang bermula dari perusahaan, karena mengeluarkan anggaran lebih untuk melakukan transisi energi, dan berimbas kepada masyarakat sebagai konsumen akhir.
Secara umum, kenaikan anggaran akibat transisi energi ini berakar dari mahalnya ongkos dan bahan baku untuk memproduksi energi ramah lingkungan.
Kekhawatiran terhadap greenflation ini pernah digaungkan oleh pejabat bank sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) dua tahun lalu, saat Benua Biru tersebut memacu upaya transisi menuju energi hijau.
Isabel Schnabel, eksekutif ECB yang bertanggung jawab atas operasi pasar mengingatkan bahwa kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim kemungkinan besar akan membuat harga-harga energi naik dan dapat memaksa ECB menarik stimulusnya lebih cepat daripada yang direncanakan.
”Transisi yang direncanakan dari bahan bakar fosil ke ekonomi rendah karbon yang lebih hijau menimbulkan risiko-risiko kenaikan yang dapat diukur pada proyeksi dasar inflasi kami dalam jangka menengah,” ungkap Schnabel seperti dilansir Financial Times, Januari 2022 lalu.
Dalam kesempatan lain, Schnabel menjelaskan bahwa banyak perusahaan yang mengadaptasi proses produksi untuk mengurangi emisi karbon. Namun, sebagian besar teknologi ramah lingkungan membutuhkan sejumlah besar logam dan mineral, seperti tembaga, litium, dan kobalt selama masa transisi. Hal ini lah yang memicu greenflation.
”Kendaraan listrik, misalnya, menggunakan lebih dari enam kali lebih banyak mineral daripada kendaraan konvensional. Pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai membutuhkan lebih dari tujuh kali lipat jumlah tembaga dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga gas,” jelasnya seperti dikutip ECB.
Seiring dengan meningkatnya permintaan, lanjutnya, pasokan akan terbatas dalam jangka pendek dan menengah. Biasanya diperlukan waktu lima hingga sepuluh tahun untuk mengembangkan tambang baru.
Ketidakseimbangan antara meningkatnya permintaan dan terbatasnya pasokan inilah yang menyebabkan harga berbagai komoditas penting telah meningkat secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Harga litium, misalnya, telah meningkat lebih dari 1000% sejak Januari 2020 hingga awal Maret 2022.
Namun, Schnabel mengatakan greenflation memiliki dampak yang jauh lebih kecil terhadap konsumen akhir dibandingkan dengan fossilflation, atau kenaikan harga akibat energi fosil.
”Oleh karena itu, adalah menyesatkan untuk menyatakan bahwa penghijauan ekonomi kita adalah penyebab kenaikan harga energi yang menyakitkan,” ungkapnya.
Namun, ancaman greenflation tampaknya mulai mereda saat ini. Hal ini dapat dilihat dari pergerakan harga lithium yang menjadi salah satu pendorong greenflation yang paling populer.
Berdasarkan data Comex, harga kontrak lithium berjangka sempat melonjak mendekati US$90 per kilogram (kg) pada akhir tahun 2022.
Namun, pergerakan harga lithium kembali dalam tren penurunan sepanjang tahun lalu. Hingga awal Januari 2024, harga lithium berjangka turun hingga level US$14 per kg.
Pergerakan harga ini sejalan dengan proyeksi dari Goldman Sachs yang memperkirakan bahwa harga akan terus turun.
Goldman mencatat, meskipun kendaraan listrik yang menjadi sumber utama permintaan lithium terus diproduksi, rantai pasokan tidak terlalu kacau dibandingkan sebelumnya. Selain itu, pasokan aktual terus bertambah.
Greenflation di Indonesia
Sejumlah ekonom menilai Indonesia sudah mengalami greenflation akibat inisiatif transisi energi yang diambil pemerintah beberapa tahun terakhir.
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov menuturkan, salah satu dampak dari inflasi hijau yang cukup terekam dalam memori masyarakat adalah kelangkaan minyak goreng sejak akhir Desember 2021.
Selain siklus komoditas yang didorong pandemi, program mandatori biodiesel atau bauran Solar dengan bahan bakar nabati (BBN) berbasis minyak sawit juga dianggap sebagai pemicu reli harga minyak sawit saat itu.
“Produksi biofuel ini pernah terjadi preseden buruk menyebabkan lonjakan harga pangan, khususnya minyak goreng di tahun lalu, awalnya peningkatan EBT [energi baru terbarukan], tetapi menyebabkan kenaikan harga minyak goreng,” kata Abra saat dihubungi, Senin (22/1/2024).
Selain bahan baku minyak sawit, Abra menambahkan, inflasi hijau juga belakangan terlihat jelas pada kebijakan larangan ekspor mineral logam.
Abra mengatakan, terjadi kenaikan bahan baku mineral logam di sebagian besar industri akibat kebijakan pemerintah melarang ekspor bahan mentah tersebut.
“Itu kan menaikkan harga bahan baku itu sehingga industri manufaktur di dalam negeri yang memanfaatkan bahan baku tadi tentu menyerap kenaikan biaya dengan meningkatkan biaya produksinya akhirnya konsumen di dalam negeri menanggung beban,” kata dia.